Selasa, 20 Oktober 2009

Makna Hari Ulihan


17 Oktober jam 15:03
BALI POST
17 Oktober 2009 | BP

Makna Hari Ulihan

Minggu, 18 Oktober ini bertepatan dengan Tilem Sasih Kapat. Umat Hindu yang masih berada dalam suasana hari raya, pada hari Minggu atau Radite Wage Kuningan menyebutnya sebagai hari Ulihan. Secara umum, umat menghaturkan canang raka di merajan atau di kemulan, mohon keselamatan dan panjang umur.

Di daerah tertentu, hari Ulihan termasuk istimewa. Bagi umat di Desa Pujungan, Kec. Pupuan (Tabanan), umat membuat "intil", yaitu semacam ketupat yang dibungkus dengan daun bambu. Pagi-pagi sekitar pukul 05.00 Wita, intil itu dihaturkan di bale adat atau di tempat tidur (bagi yang tidak punya bale adat). Intil itu ditaruh di atas dulang bersama lauk pauknya. Sesajen itu dihaturkan kehadapan pitara-pitari (dewata-dewati) atau roh leluhur, baik yang belum maupun yang sudah diaben. Pada hari Ulihan, umat Hindu memiliki kepercayaan bahwa roh leluhur pulang dan oleh karenanya dihaturkan sesajen. Pada hari Redite ini, beliau kembali ke alam niskala setelah memberikan berkat kepada turunannya.

Hari Ulihan ini memiliki makna, bahwa umat manusia hendaknya selalu ingat kepada roh leluhur yang telah membuat manusia ini berkembang. (Wayan Supartha).

Berpasrah Diri Tidak Berarti Bermalas-malasan



Bagi umat yang ada di jenjang hidup Grhasta Asrama, Karma Yoga lebih mendominasi. Kerja keras dan tidak malas merupakan kewajiban dan kebajikan yang patut dilakukan. Tuhan hanya menyayangi mereka yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan, bukan mereka yang malas, dan bukan mereka yang menyepelekan segala sesuatu. Orang yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan akan mencapai keberhasilan. Hal ini sangat relevan dengan perkembangan dunia modern.

Siapa saja yang tekun bekerja, tekun belajar, berdisiplin dan memiliki kualitas SRADDHA yang mantap akan sukses dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian pula orang yang tidak mengenal lelah, tidak cepat putus asa akan memperoleh kecukupan lahir dan batin. Tuhan selalu menolong orang yang suka bekerja keras.

KURVAM EVEHA KARMANI JIJIVISET SATAM SAMAH. EVAM TVAYI NANYATHETO-ASTI NA KARMA LIPYATE NARE (Yajurveda XI.2) ... Orang seharusnya suka hidup di dunia ini dengan melakukan kerja keras selama seratus tahun. Tidak ada cara yang lain bagi keselamatan seseorang. Suatu tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak memihak, menjauhkan pelaku dari keterikatan.

ICCHANTI DEVAH SUNVANTAM NA SVAPNAYA SPRHAYANTI. YANTI PRAMADAM ATANDRAH (Atharvaveda XX.18.3) ... Para Dewa menyukai orang-orang yang bekerja keras. Para Dewa tidak menyukai orang-orang yang bermalas-malasan. Orang-orang yang selalu waspada mencapai kebahagiaan yang agung.

ASMANVATI RIYATE SAM RABHADHVAM UTTISHATA PRA TARATA SAKHAYAH. ATRA JAHAMA YE ASAN ASEVAH SIVAN VAYAM UTTAREMABHI VAJAN (Rgveda X.53.8) ... Ya para sahabat, dunia yang penuh dosa dan kesedihan sedang lewat bagaikan sebuah sungai, alirannya yang dihalangi oleh batu-batu besar yang berat. Tekunlah, bangkit dan seberangilah, tinggalkanlah pengikut yang tak berbudi. Seberangilah sungai kehidupan ini utk pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran.

MA SREDHATA SOMINO DAKSATA MAHE KRNUDHVAM RAYA ATUJE. TARANIR IJ JAYATI KSETI PUSYATI NA DEVASAH KAVATNAVE (Rgveda VII.32.9) ... Wahai orang-orang yang berpikiran mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kecukupan hidup. Orang yang bersemangat dan tekun akan berhasil, hidup menikmati kemakmuran. Para Dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malasan.

ATANDRASO AVRKA ASRAMISTHAH (Rgveda IV.4.12) ... Hanya orang-orang yang giat, tulus hati dan tak kenal lelah berhasil dalam kehidupan.

NASUSVER APIR NA SAKHA NA JAMIH (Rgveda IV.25.6) ... Tuhan bukanlah sahabat, kerabat atau sanak saudara dari orang yang malas.


Forum Diskusi SRADDHA:
http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fwww.facebook.com%2Ftopic.php%3Fuid%3D96043369361%26topic%3D11123&h=a2e2dfb0a82fbb8884e94e772e7c7c33




Kontingen Garuda Rayakan Galungan di Lebanon

Rata Penuh

19 Oktober 2009

LEBANON (Pos Kota) - Umat Hindu anggota Kontingen Garuda Indonesia yang bertugas sebagai pasukan penjaga perdamaian dunia di Lebanon, dengan khidmat melaksanakan rangkaian persembahyangan hari Raya Galungan di Markas Satgas POM TNI Konga XXV-A/UNIFIL, UN Posn 7-3, Marjayoun, Lebanon, Minggu (18/10).

Persembahyangan hari Raya Galungan kali ini diikuti oleh 12 personel Hindu Kontingen Indonesia.

Menurut Dansatgas POM TNI, Letnan Kolonel Ujang Martenis, kegiatan dalam rangka perayaan hari Galungan bagi prajurit Umat Hindu Kontingen Indonesia yang dipusatkan di Markas Satgas POM TNI merupakan salah satu bentuk perhatian dan kesejahteraan moril dari pimpinan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya dalam melaksanakan kegiatan agama bagi prajuritnya.

Seluruh Umat Hindu Kontingen Indonesia diberikan kesempatan untuk melaksanakan persembahyangan Galungan di Batalyon India (Indbatt), UN Posn 4-2, Ebel El Saki. Hal ini karena India merupakan asal mula ajaran Hindu di dunia.

Umat Hindu Kontingen Indonesia juga telah diberikan kesempatan untuk melaksanakan Hari Raya Nyepi di Batalyon India. Hal ini semakin mempererat persahabatan antar kontingen UNIFIL yang melaksanakan tugas misi perdamain dunia di Lebanon”.

galungan3Sedangkan Mayor Ckm dr. Nyoman Linggih, Dokter Satgas POM TNI, salah satu umat Hindu Kontingen Indonesia menjelaskan bahwa Galungan adalah suatu upacara sakral agama Hindu yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari dharma (kebenaran) dan mana yang dari adharma (kejahatan) dalam diri manusia.

Hal ini untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu menegakkan dharma dalam kehidupannya.

Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama Hindu dijelaskan bahwa pada saat Galungan kita harus mengarahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri kita. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu adalah wujud adharma. Namun makna sesungguhnya adalah hendaknya kita membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri kita.

Dengan semangat galungan diharapkan sraddha dan bhakti umat Hindu makin mendekatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. (dms)

Minggu, 18 Oktober 2009

Dirjen: Tak Ada Hindu Kaharingan



Kamis, 15 Oktober 2009 | 22:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Dirjen Bimas Hindu Prof Dr IBG Yudha Triguna MS menegaskan, di wilayah Indonesia tak dikenal adanya agama Hindu Bali, Hindu Jawa atau Hindu Kaharingan karena yang ada hanya satu, agama Hindu.

Penegasan Dirjen Bimas Hindu dilontarkan di Jakarta, Kamis (15/10), saat menyaksikan ceramah umum Mufti Besar Suriah Syekh Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Gedung Depag, Jalan MH Thamrin, Jakarta.

Ia mengatakan, Hindu yang dianut suku Bali, Bugis, Jawa, dan Kaharingan memang ada di Indonesia, tetapi bukan Hindu Kaharingan atau Hindu lain berdasarkan etnis tertentu.

"Jadi, bukan karena ada etnis setempat lantas dikenal adanya Hindu Jawa dan seterusnya," katanya.

Ia mengakui belakangan ini ada kecenderungan kelompok tertentu memaksakan kehendak sendiri untuk memasukkan agama Hindu sesuai dengan nama etnis tertentu. "Mereka itu ingin memecah umat Hindu berdasarkan etnis di mana Hindu dianut di wilayah daerah tertentu," katanya.

Menurut Tri, tradisi ritual agama Hindu boleh mengikuti tradisi setempat sebab agama Hindu punya prinsip Desa Kala Patra (tempat, waktu dan keadaan). Namun, jika ada etnis tertentu ingin adanya agama Hindu Kaharingan ataupun Hindu lainnya, tentu hal itu menyalahi ketentuan.

"Itu di luar kewenangan Dirjen Bimas Hindu," katanya, sambil menambahkan bahwa hal itu tak ada di nomenklatur.

Ia menjelaskan, adanya otonomi daerah telah dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyebut bahwa agama Hindu lebih dari satu, ada Hindu Bali, Hindu Kaharingan, dan Hindu Jawa yang sesungguhnya telah menyalahi ketentuan.

Karena itu, ia berharap adanya pandangan bahwa Hindu lebih dari satu hendaknya dijauhi. Sebab, hal itu terjadi karena kurangnya sosialisasi dan bersamaan dengan munculnya semangat otonomi daerah.

"Dirjen Bimas Hindu punya kewajiban membina umat Hindu, apa pun etnisnya. Namun, Bimas Hindu tak punya kewajiban membina etnis tertentu jika dia bukan umat Hindu," katanya.

Desha, Kala, Patra

Oleh: Anand Krishna

KETIKA mengatakan "Ya, tergantung," biasanya kita tidak menjelaskan "tergantung pada apa". Kita tidak merasa perlu untuk menjelaskannya, dan tidak ada orang yang peduli akan hal itu. Jadi, tergantung-nya bisa semau kita. Tergantung pada apa pun, suka-suka kita.

Namun, di Bali, "tergantung pada apa" menjadi penting. Kata "Tergantung" tidak berdiri sendiri. "Tergantung" di Bali tergantung pada desha, kala dan patra.

Desha berkaitan dengan tempat di mana kita hidup, dan menjadi sumber nafkah kita. Kata ini sebenarnya adalah perpaduan dari dua kata: Deha, atau "badan" dan ashraya, atau "memelihara/mendukung". Maka, desha adalah yang "memelihara/mendukung tubuh" kita.

Oleh karena itu, desha tidak mesti negara di mana Anda lahir, dan/atau dari mana Anda berasal/warga Negara mana. Anda bisa dilahirkan di Betlehem, dibesarkan di Bangkok dan memiliki paspor Brasil - jika Anda hidup dan tinggal di Bali, maka Bali adalah desha Anda. Kata "desa" dalam Bahasa Indonesia berasal dari "desha" alam bahasa Sanskerta/Kawi.

Bagaimana jika Anda seorang pelancong, dan mengunjungi beberapa tempat? Tempat yang Anda kunjungi adalah desha "untuk saat itu," atau selama Anda berada di sana.

Berikutnya, kala, atau waktu, berkaitan dengan saat ini, masa ini. Bukan dengan masa lalu ataupun masa depan. Kala adalah "saat ini," di sini dan sekarang.

Terakhir, patra berkaitan dengan "peran," meskipun lebih sering diterjemahkan sebagai "konteks," yang sebenarnya tidak pas. Desha, kala dan patra - ketiganya adalah kontekstual, bukan hanya patra.

Patra mengingatkan kita akan peran kita yang berbeda dalam hidup. Peran saya di tempat kerja dan peran saya di rumah adalah dua peran berbeda. Peran yang berbeda ini dibagi lagi menjadi beberapa sub-peran.

Di tempat kerja, saya bisa menjadi bos untuk orang lain, dan seseorang bisa menjadi bos untuk saya. Saya bertanggungjawab kepada seseorang, dan seseorang bisa bertanggungjawab kepada saya. Demikian juga, peran saya di rumah sudah tak terhitung banyaknya, banyak sekali variannya. Peran saya sebagai seorang ayah dari anak-anak saya, tidak mengubah peran saya sebagai seorang anak dari ayah saya. Masing-masing dari kita memiliki multi-peran, serangkaian peran untuk dimainkan pada satu waktu yang sama.

Anda dapat melakukan percobaan seperti ini. Ambil selembar kertas dan buatlah lima kolom. Kolom pertama di mana Anda menulis tugas-tugas Anda, yang kedua untuk desha, yang ketiga untuk kala, keempat untuk patra dan kelima untuk kesimpulan.

Sekarang, ambil tugas, sebagai contohnya, buang air kecil. Dalam kolom kedua, tulislah di mana Anda berada, tidak hanya Bali - untuk lebih spesifik katakanlah di mal. Kolom ketiga: waktu - tentunya berkenaan dengan jam kerja. Kemudian datang peran Anda sebagai pengunjung, seorang pelanggan. Jadi kesimpulan akan buang air kecil di salah satu toilet umum yang disediakan.

Sekarang, ubah kolom peran dari pengunjung menjadi karyawan. Pertahankan yang lainnya tetap seperti apa adanya. Kesimpulannya akan berubah. Anda mesti mencari toilet yang disediakan untuk staf.

Demikian pula, jika Anda mengubah desha, atau tempat. Katakan, "di suatu tempat jauh dari mana-mana, di pegunungan Himalaya," di mana tidak ada toilet umum, kesimpulan akan menjadi: "Cari batu atau pohon, dan kencinglah di baliknya."

Pemahaman desha, kala, patra ini, membuat, atau barangkali lebih tepat bila saya katakan "semestinya membuat" Bali, dan masyarakat Bali menjadi sangat dinamis dan progresif. Kita menjadi peka dan lebih sadar akan semua tindakan kita. Jika benar dipahami dan dipraktikkan, petuah ini dapat membebaskan kita dari keterikatan pada kebiasaan-kebiasaan yang sudah usang, dan tidak lagi relevan. Sayangnya dan ini sangat menyedihkan - kita telah melupakan semangat di balik petuah ini

Baru-baru ini, kita membaca berita tentang keluarga yang hendak memperabukan jasad seorang relasi mereka di krematorium umum. Namun, tidak diperbolehkan oleh para tua dan pemimpin desa/adat. Alasannya: Harus ada kremasi, sesuai dengan kebiasaan, atau adat, dari desa, pada tanggal tertentu, dan dengan ritual tertentu.

Salah satu teman saya, seorang Barat yang tinggal di Bali, berkomentar, "Ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ini benar-benar pelanggaran yang konyol."

Teman saya yang lain, seorang tokoh di Bali dan nama beliau begitu terpandang, berkomentar sedih: "Saya menghadapi masalah yang sama ketika saya ingin mengkremasi ayah saya. Hukum adat tidak memungkinkan saya, dan saya harus menunggu lebih dari satu tahun sebelum melakukan kremasi. "

Mengapa? Terdapat beberapa alasan. Jika ada festival yang akan datang, atau upacara keagamaan lainnya, maka kremasi harus ditunda menunggu sampai waktu yang akan ditentukan. Jenazah harus "disimpan," atau "dititip," di bawah tanah - yaitu, terkubur - sebelum waktu kremasi yang tepat diputuskan, sekali lagi sesuai dengan hukum adat dan, barangkali juga, keputusan pendeta atau siapa yang lain.

Alasan diatas hanyalah merupakan salah satu, yang dapat menunda proses kremasi, dengan tentunya konsekuensi moneter tambahan. Penguburan, sekalipun untuk sementara, tidaklah gratis. Biaya untuk ritual tambahan pun mesti pikul oleh keluarga yang ditinggalkan.

Saya selalu mendengar keluhan dari pemuda-pemudi asal Bali, terutama mereka yang tinggal di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia, bahwa mereka tidak bisa lagi mengikuti peraturan semacam itu, "Intervensi adat, kepala suku desa dan lain-lain akhirnya akan memaksa kita untuk melepaskan agama Hindu dan memeluk Islam atau Kristen". Banyak dari mereka yang "sudah" melakukannya.

Desha, kala, patra. Saya harus mengingatkan Bali akan warisan budayanya yang luhur. Ketiga kata sarat dengan makna ini sesungguhnya adalah mantra untuk kemajuan dan evolusi. Apa yang relevan kemarin mungkin tidak lagi relevan untuk hari ini. Memang, ada pula beberapa adat dan kebiasaan yang masih relevan dan harus dilanjutkan. Sementara itu, yang sudah tidak relevan lagi harus ditinggalkan.

Bersikukuh mempertahankan segala sesuatu yang kuno, atau "dari sononya sudah demikian" akan merusak, bahkan menghancurkan kita sendiri. Kita harus secara cerdas, dan mengggunakan viveka atau akal-sehat, meninjau kembali kebiasaan-kebiasaan atau adat-adat masa lalu kita. Silakan mempertahankan dan mengikuti apa saja yang masih relevan, dan mengandung nilai-nilai budaya yang luhur. Dan, tinggalkan apa yang sudah tidak relevan.

Untuk anak-anak muda yang meninggalkan iman mereka dengan pertimbangan adat, saya harus berkata: Jangan menjadi pengecut. Pengecut adalah tanda kelemahan. Apa yang dapat Anda capai dalam hidup jika anda berperilaku pengecut seperti itu?

Anda memiliki tanggung jawab untuk reformasi peraturan, adat dan tradisi yang sudah usang. Anda tidak bisa lari dari tanggung jawab itu. Anda memiliki kewajiban terhadap pulau Bali. Selamatkan dia dari kematian perlahan-lahan akibat degenerasi dan degradasi nilai-nilai luhur. Ingat pepatah dari nenek moyangmu: desha, kala dan patra!

Menariknya, para tua pun selalu menggunakan mantra yang sama untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Hal ini menunjukkan ketidakpahaman kita terhadap makna dan implikasi dari kata-kata tersebut.

Desha, kala, patra mengandung nilai perubahan yang dinamis. Petuah ini merupakan panggilan untuk berubah dengan menjadi perubahan itu sendiri.

Adalah keliru jika, kita di Bali, menafsirkan desha, kala, patra sebagai peribahasa "Ketika di Roma, bertindaklah seperti orang Roma" versi Bali. Kemudian, kita tujukan kepada orang-orang Non-Bali saja, yang kebetulan sedang berkunjung, atau tinggal di sini.

Desha, kala, patra tidak hanya ditujukan kepada warga Non-Bali yang berada di Bali, tetapi suatu nasihat yang ditujukan untuk seluruh masyarakat Bali, terlebih bagi pada penduduk dan penetap di pulau ini. Kita semua perlu untuk maju dan berkembang.

Sesungguhnya, Bali dapat memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap peradaban baru dunia kita. Petuah ini relevan untuk semua ras, dan semua bangsa. Adat dan tradisi semestinya memfasilitasi, bukan malah menjadi beban bagi kita semua.

Peringatan buat kita semua: Mari kita belajar dari sejarah, dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh peradaban-peradaban besar di masa lalu. Mereka yang enggan mengubah diri mengalami kehancuran, pembusukan, dan akhirnya mati. Pada saat yang sama, mereka yang terbawa oleh arus dan kehilangan jatidirinya, mengalami kehancuran, pembusukan, dan kematian juga.

Kita harus belajar untuk memfasilitasi perubahan, sesuai dengan desha, kala dan patra. Kita, sungguh memiliki pedoman dan alat ukur yang luar biasa untuk menjaga keseimbangan antara apa yang harus diubah dan apa yang harus dilanjutkan.

Kesinambungan dalam perubahan - dan itu hanya mungkin terjadi jika kita benar-benar memahami filosofi di balik peribahasa yang indah ini, ketiga kata berikut adalah mantra yang sangat manjur: Desha, Kala dan Patra.

*Penulis adalah aktivis spiritual, dan telah menulis lebih dari 130 buku. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatannya di Bali, silakan menghubungi Aryana atau Debbie di 0361 7801595 atau 8477490, atau kunjungi www.aumkar.org, www.anandkrishna.org (Tulisan ini pertama kali dimuat di The Bali Times, diterjemahkan oleh Tina M.Ch.)

Warga keturunan India di Medan Rayakan Deepavali

Minggu, 18 Oktober 2009
Adela Eka Putra Marza - Okezone

MEDAN - Warga keturunan India di Kota Medan merayakan Hari Raya Deepavali Tahun 5111, hari ini Sabtu (17/10). Semua warga keturunan India, baik yang beragama Hindu, Sikh, Islam, Budha maupun Kristen berkumpul dengan keluarga masing-masing.

"Deepavali adalah tradisi India. Walaupun kami berbeda agama, kami tetap merayakan tradisi ini bersama-sama," tutur Rojes, salah seorang keturunan India Tamil di Medan. Pada hari raya tersebut, mereka melakukan doa bersama dan saling bermaafan.

Bersama keluarga besarnya yang berbeda-beda agama, Rojes berkumpul sambil menikmati aneka makanan khas India. Roti cane dengan kuah kari kambing, omopodi yang merupakan kue kering dengan bumbu ketumbar, serta murke yang rasanya manis menjadi santapan mereka di rumah.

Mereka sengaja mengambil libur dari pekerjaan, serta meminta izin bagi anak-anaknya yang bersekolah untuk merayakan Deepavali bersama keluarga. Karena hingga saat ini, Deepavali belum menjadi hari libur nasional. Berbeda dengan perayaan Nyepi bagi umat Hindu di Bali atau perayaan Tahun Baru Imlek Cina yang sudah menjadi hari libur nasional.

Oleh karena itu juga, warga keturunan India di Medan berharap pemerintah bisa menjadikannya sebagai hari libur nasional seperti yang dilakukan di beberapa negara. Bahkan organisasi umat Hindu di Medan, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Medan telah menghimbau kepada pemerintah daerah untuk menjadikan Hari Raya Deepavali sebagai hari libur fakultatif.

Sementara itu, di Kuil Shri Mariamman Jalan Teuku Umar Kampung Madras Medan, puluhan umat Hindu juga merayakan Deepavali. Mereka dipimpin oleh seorang pinandita (pendeta) yang membaca doa-doa dalam ritual sembahyang. Seorang penari wanita juga tampil membawakan tarian klasik Bardanataim.

Menurut Ketua PHDI Kota Medan S Ananda Kumar, Deepavali sendiri berasal dari dua kata Sansekerta, yakni 'deepa' yang berarti cahaya dan 'avali' yang berarti jajaran. "Jadi Deepavali bisa diartikan sebagai jajaran cahaya, atau barisan cahaya. Inilah hari kemenangan," jelasnya.

Perayaan ini awalnya berasal dari rakyat Ayodya di India Selatan. Mereka menghidupkan lilin sepanjang jalan yang dilalui Rama dan Shinta untuk menyambutnya dengan suka cita. Rama dan Shinta kembali ke Kerajaan Ayodya dari pengasingan selama 14 tahun, setelah bersama Hanoman berhasil mengalahkan Kerajaan Alengka dan rajanya Rahwana.

Ada kepercayaan lagi yang mengatakan bahwa Deepavali adalah perayaan matinya Narakasura, dewa jahat yang menggenggam bumi dan surga di tangan Krisna. Atau disebut juga sebagai perayaan pembebasan bumi dan surga dari genggaman Narakasura. Namun pada intinya, Deepavali merupakan peringatan hari kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (kejahatan). Sehingga banyak orang yang menganggap Deepavali adalah perayaan agama Hindu.

Perayaan Deepavali lebih banyak terdengar dilaksanakan di Sumatera Utara, seperti di Medan, Binjai, Tebing Tinggi dan sekitarnya. Di daerah ini, sekitar 50 ribu warga keturunan India bermukim bersama masyarakat pribumi dan etnis lainnya. Pada zaman pemerintahan Soeharto, perayaan Deepavali malah sempat dilarang.

Perayaan ini biasanya dirayakan selama lima hari berturut-turut dalam kalendar Hindu bulan Ashwayuja, atau antara bulan Oktober dan November berdasarkan kalender Masehi. Bagi umat Hindu sendiri, biasanya mereka berpuasa selama 30 hari sebelum perayaan Deepavali. Selain itu, mereka juga memberikan danapunia (bantuan) bagi orang-orang yang membutuhkan, membersihkan diri dan makam leluhur. Kemudian pada hari H, mereka melakukan doa bersama keluarga di rumah atau di kuil, dan saling bermaafan. (hri)

__________________________________________________________

Selasa, 06 Oktober 2009

Pengaruh Hindu Atas Tasawuf Islam

Disarikan dari tulisan Hamka
Oleh M. Putu Putra

Pengantar.

Dalam tulisan saya " Tentang Keesaan Tuhan ", saya ada mengutip pendapat Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah ( HAMKA ) Alm. yang dimuat dalam bukunya " perkemnbangan Tasauf dari abad ke abad ".
Ada beberapa bagian dari buku itu yang membahas kemungkinan bahwa kehidupan kerohanian islam berasal dari atau dipengaruhi oleh ajaran Hindu.
Hal ini dibahas dalam bab III dengan judul " Pengaruh - Pengaruh lain Atas Hidup Kerohanian Islam".
Dalam bab ini memang dibahas kemungkinan adanya pengaruh kehidupan kerohanian islam (dhi.tasauf )dari ajaran-ajaran agama atau aliran filsafat lain dari luar islam. Untuk pembaca WHD saya hanya akan mengutip pembahasan yang berkaitan dengan agama Hindu.
Tidak sedikit ahli-ahli penyelidikyang menyatakan pendapat bahwa hidupkerohanian Islam itu berasal dari ajaran hindu. Di dalam tahun 1938 kami telah membuka pertukaran pikiran diantara penulis-penulis Islam dalam majalah Pedoman Masyarakat tentang soal ini. Orang yang menguatkan adanya pengaruh itu berkata : " Pengaruh itu terang ada, bilamana diperbandingkan persamaan - persamaan yang banyak terdapat diantara pandangan hidup atau praktek melakukandidalam kitab-kitab suci orang hindu, baik dalam dasar kepercayaan, atau didalam ucapan-ucapan doa dan nyanyian - nyanyian aama. Demikian juga amalan ahli-ahli agama hindu dengan Yoganya, latihan ibadatnya, tafakurnya,Zikirnya dan ma'rifatnya".
seorang pengarang dan pengembara arab yang terkenal amat memperhatikan dan mempelajari kebudayaan Hindu, bernama Abul Raihan Muhammad bin Ahmad Albairuni ( 351-440 h. = 965-1049 m ). Dia telah menyelidiki kebudayaan Hindu sampai dalam, sampai dipelajarinya bahsa sanserkerta. Lama dia berdiam ditanah india , dikarangnya sebuah kitab yang bernama Tahqiqu Ma lil Hindi min Muqauwalah,mawbulatin fil aqli au marzulah. ( Penyelidikan tentang hal-hal di india, yang diterima atau ditolak akal ).
Dalam buku ini ditulisnya panjang lebar tentang ilmu pengetahuan, kepercayaan , ibadat , keagamaan dan filsafat india. Bukan saja suatu pandang selintas lalu, bahkan masuk kedalam pengupasan dan perbandingan.Di antara dasar fikiran india dan dasar fikiran yunani. Demikian juga dengan amalan kehidupan ahli-ahli tasauh.beliau banyak memberikan pertimbangan bahwasanya kehidupan Yga India banyak sekali persamaanya dengan kehidupan dan riadhan ( latihan jiwa ) kaum Sufi.
Kaum Orientalisten yang menguatkan pendirian bahwa Hidup Kerohanian Islam itu terpengaruh besar sekali oleh kebudayaan Hindu, umumnya mengambil alasan dari keterangan Albairuni ini.
Albairuni Ketika membandingkan persamaan jalan filsafat Yunani dan Yoga Himdu dengan ahli tasauf, berkata : " orang yang telah menghadapkan seluruh perhatiannya kepada sebab yang pertama, senantiasa berusaha menyerupai Nya sedaya upaya. Dia bersatu dengan Dia, bila telah melepaskan segala pengantar , ditinggalkannya.
Artinya menurut keterangan itu, seseorang yang telah menyediakan dirinya mencari Yang Ada, berdaya hendak bersatu dengan Dia. Tidak dihambat dirintangi oleh apapun. Dalam pandangan ini terdapat persamaan beberapa ahli filsafat Yunani, Ahli hikmat Hindu dan ahli tasauf Islam.
Lain dari itu ialah tentang kepercayaan akan adanya Tanasuch ( reinkarnasi ), yaitu kemungkinan berpindahnya suatu roh dari satu badan ke badan lai. Orang Hindu menamainya Karma. Karma itulah pokok kepercayaan agama Hindu. Artinya kalau tidak percaya adanya Karma, bukanlah Hindu.Karma pun bisa jelma, yaitu suatu roh memakai tubuh yang bukan tubuh insani boleh juga tubuh binatang, sebagai ular ( ini yang banyak, sehingga mereka sangat memuliakanya ,kera ( ingat Hanoman ), lutung ( ingat Lutung Kasarung ), dll. Dan sapi adalah penjelmaan yang amat mulia dan amat suci. Mahatma Gandhi sebagai mujadid ( pembaharuan atau intektual yang memberikan penafsiran baru )dari agama Hindu, dengan berbagai filsafatnya yang mendalam, membela kesucian sapi.
Albairuni meneruskan perbandinganya tentang persamaan pokok percayaan Karma dan jelma Hindu itu dengan mazhab orang sufi." menurut dasar inilah pandangan setengah orang sufi, yang berkata, bahwasanya dunia ini adalah diri yang tidur, dan akhirat diri yang bangun. Dan setengah dari mereka ( orang sufi ) memungkinkan Hulul ( Tuhan menjelma dalam diri insan ), menjelma yang haq pada tempat-tempat, sebagai langit,arasy 9(kursi tempat dudukTuhan yang terdapat di suatu tempat di atas langit ketujuh ) dan setengahnya pula memungkinkannya kepada sekalian alam dan binatang, dan kayu-kayuan dan barang-barang keras ( jamadaat ). Mereka namai itu Al Zuhur ul Kulli. ( pernyataan Semesta ). kalau itu telah mungkin, maka jelmaan roh dari datu badan ke badan lain, tidaklah perkara yang dapat ditolak lagi "
Setelah itu albairuni memperbandingkan tentang cara-cara melepaskan diri dari pengaruh dunia ini.
Nafs, diri, aku, ingsun, ich, sekarang terikat pada alam.terikatnya itu ada sebabnya, ialah Jahil. Dan untuk melepaskan segala bentuk ikatn itu adalah dengan pengeahuan dan pengenalan (ma’rifat). Sebagaimana dalam kitab Petenggel : menyatukan Fikiran kepada kesatuan Allah, memalingkan seseorang dari rasa, yang lain dari yang ditujunya. Siapa yang menghendaki Allah Niscaya dia menghendaki agar seluruh mahluk beroleh kebajikandenga tanpa pengecualian



Jumat, 02 Oktober 2009

THOUGHT FOR THE DAY

THOUGHT FOR THE DAY

The world is made up of objects. It is inert. In the waking sense, the senses cognise all these objects. But the senses are also inert. The eyes that see, the ears that hear, the tongue that speaks and the nose that smells - all of them are Jada (inert). In fact, the entire body is inert. But all these inert objects are able to function because of the presence of Chaitanya (consciousness) in the mind. Thus we have to realise that the entire phenomenal universe is Jada.

Dunia ini terdiri dari benda-benda, yang bersifat lembam (inert). Dalam keadaan terjaga, indera mengenali keseluruhan dari objek duniawi ini. Tetapi indera juga bersifat lembam (inert). Mata yang melihat, telinga yang mendengar, mulut yang berbicara, dan hidung yang mencium bau – semuanya adalah Jada (lembam). Bahkan, seluruh badan ini juga lembam. Tetapi semua objek-objek dunia yang bersifat lembam ini, dapat berfungsi disebabkan karena adanya Chaitanya (kesadaran) dalam pikiran. Jadi kita harus menyadari bahwa seluruh alam semesta yang luar biasa ini adalah Jada.

THOUGHT FOR THE DAY

In rendering service, one should have no thought of one’s self. One should only consider how well one can render the service as an offering to the Divine. One should note the difference between Karma (action) and Karma Yoga (action as spiritual discipline). Ordinary activity is motivated by self interest or the desire to achieve some objective. In Karma Yoga, the action is desireless. Ordinary Karma is the cause of birth, death and rebirth, whereas Karma Yoga leads to freedom from birth. You should regard all service as a form of Karma Yoga – rendering service without any expectation of reward, and without even the feeling that one is ‘serving’ others. Any service done to anyone is actually service to the Divine.

Dalam memberikan pelayanan, seseorang seharusnya tidak memikirkan dirinya sendiri. Seseorang seharusnya hanya memikirkan seberapa banyak seseorang dapat memberikan pelayanan sebagai persembahan kepada Tuhan. Seseorang seharusnya memperhatikan perbedaan antara Karma (tindakan) dan Karma Yoga (tindakan sebagai disiplin rohani). Aktivitas yang dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri atau keinginan untuk mencapai suatu tujuan. Dalam Karma Yoga, perbuatan yang dilakukan adalah tanpa keinginan atau tidak mengharapkan imbalan apapun. Karma merupakan penyebab kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali, sebaliknya Karma Yoga membebaskan diri dari kelahiran kembali. Engkau seharusnya menganggap semua pelayanan sebagai bentuk dari Karma Yoga – memberikan pelayanan tanpa mengharapkan imbalan apapun, dan tanpa merasakan bahwa seseorang melayani orang lain. Pelayanan apapun yang dilakukan kepada siapapun sebenarnya merupakan pelayanan kepada Tuhan.

Dari India Langsung ke Bali


Selasa, 29 September 2009 , 10:43:00
MIRZAPUR- Aktris pemenang Oscar Julia Roberts masih melanjutkan syuting film Eat, Pray, Love di India. Senin (28/9) pengambilan gambar dilakukan di Kota Mirzapur. Ratusan penduduk berbondong-bondong menyaksikannya.

Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, sejumlah polisi berjaga-jaga dengan membawa tongkat bambu. Selain itu, ada sekitar 50 petugas berpakaian preman dan bodyguard. Mereka membentangkan kain hitam besar agar para fotografer dan kru televisi tidak bebas mengambil gambar syuting tersebut.

Namun, penjagaan serbaketat itu tak mengurangi rasa ingin tahu masyarakat dan wartawan setempat. Tak kurang akal, banyak orang yang memanjat pohon-pohon di sekitar lokasi untuk melihat wajah si Pretty Woman tersebut.

Ratusan orang lainnya naik ke atap rumah-rumah penduduk. Mereka ingin melihat jalannya syuting di lokasi yang berjarak sekitar 65 kilometer di selatan New Delhi tersebut. Roberts kemarin mengenakan tunik biru turquoise yang dipadu piyama lebar, pakaian yang biasa dikenakan para perempuan India.

Penjagaan ketat juga dilakukan di sebuah hotel resor bekas istana raja di kawasan Pataudi, tempat aktor, aktris, dan kru film menginap. Penjagaan itu dilakukan untuk menjaga privacy para aktor dan aktris film tersebut. Maklum, sejak mereka datang, pers India selalu menguntit mereka. Terutama, Roberts yang ditemani tiga anaknya.

Setelah syuting di Mirzapur, kru film tersebut bakal bergerak ke Bali, Indonesia. Di Bali, kru film itu akan menuntaskan syuting bagian ketiga dan yang terakhir dari Eat, Pray, Love. "Di India ini, kami menghabiskan semua pengambilan gambar yang dibutuhkan. Jadi, kami tidak perlu kembali syuting di sini lagi. Kami selesai syuting di sini kira-kira mulai tanggal 6 sampai 10 Oktober nanti," kata seorang kru seperti dikutip situs New Kerala.

Eat, Pray, Love dibuat berdasar kisah nyata dalam buku pemenang Pushcart Prize dengan judul yang sama karya Elizabeth Gilbert (diperankan Julia Roberts). Setelah pernikahannya di AS kandas, Elizabeth memutuskan memulai perjalanan ke India, Italia, dan Indonesia untuk menemukan jati diri. Film tersebut disutradarai oleh Ryan Murphy. Selain Roberts, film yang akan dirilis pada 2011 tersebut dibintangi Javier Bardem (No Country for Old Men), Richard Jenkins (The Visitor), Viola Davis (Doubt), dan Billy Crudup (Almost Famous).

http://www.jpnn.com

SBY Kucurkan Dana 200 Juta Untuk Upacara Hindu


MONDAY, 28 SEPTEMBER 2009
Total View : 182 kali

Bali merupakan salah satu pusat agama Hindu di Indonesia. Berbagai ritual kegiatan agama dan kesenian menjadi salah satu daya tarik bagi pariwisata di daerah ini. Dalam waktu dekat ini salah satu ritual agama Hindu akan dilaksanakan, yaitu "Ngenteg Linggih dan Padudusan Agung", dimana pelaksanaannya akan dilakukan di Pura Bukit Metik, Gunung Lebah, Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.

Salah satu yang menarik perhatian dari acara ini yaitu kesediaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucurkan dana sebesar 200 juta rupiah untuk membantu pelaksanaannya, dimana dana keseluruhan adalah 750 juta rupiah. Kegiatan ini rencananya melibatkan sekitar 700 kepala keluarga (KK) dari masyarakat Hindu Desa Batur, Kintamani dan masih-masing kepala keluarga di bebankan biaya sebesar 500 ribu rupiah.

"Upacara tersebut dilaksanakan setiap 30 tahun sekali di Pura Bukit Mentik dengan rangkaian kegiatan dari awal hingga puncak acara berlangsung sebulan penuh, 20 September-20 Oktober 2009," demikian ungkap Dr I Ketut Murdjana, Wakil Ketua Panitia kegiatan ini.

Salah satu tujuan kegiatan ritual ini adalah memohon keselamatan kepada Tuhan agar dunia beserta isinya terhindar dari bencana, serta selalu dilimpahkan kesuburan dalam bidang tanah pertanian.

Sumber : Antara News/VM

UMAT HINDU MENDOAKAN JACKO

INDIA - Umat Hindu di India memberikan penghormatan kepada raja pop Michael Jackson, dengan upacara keagamaan Pind Daan di sebuah kota suci di Bodh Gaya, India, akhir pekan kemarin.

Upacara keagamaan yang sudah dimulai sejak 220 tahun lalu di kuil Vishnupad di pinggir sungai Falgu di Bihar ini dipimpin oleh seorang pendeta, yang merupakan penggemar Michael Jackson, sebagaimana dikutip okezone dari femalefirst, Senin (28/9/2009).

"Sejumlah selebritis telah menawarkan untuk melakukan upacara ini untuk keselamatan arwah nenek moyang mereka. Termasuk bintang Bollywood Shatrughan Sinha. Umat Hindu percaya, upacara keagamaan yang dilakukan selama dua pekan ini akan membawa keselamatan bagi jiwa," terang pendeta Rajan Zed.

"Sekira sejuta orang dari segala penjuru berkumpul di Bodh Gaya untuk melakukan upacara tahunan ini. Setelah mandi di dekat waduk, para peziarah kemudian melakukan upacara keagamaan tersebut untuk keselamatan nenek moyang.

"Kehidupan pribadi Michael Jackson memang controversial. Akan tetapi dia memberikan kegembiraan kepada masyarakat luas dengan musiknya. Dia juga memiliki ikatan dengan India dan umat Hindu," paparnya.

Menurut laporan, Michael tengah membaca syair pemenang nobel pertama dari India, yaitu penyair Rabindranath Tagore.Bahkan dikabarkan, Michael juga sedang mendalami soal meditasi dan menjadi seorang vegetarian.