Rabu, 01 September 2010

HINDU BALI

HINDU BALI

Sejarah Bali meliputi rentang waktu perkembangan kebudayaan masyarakat Bali. Zaman prasejarah ditandai oleh kehidupan masyarakat yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat pula menggambarkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Berkat penelitian para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama George Eberhad Rumf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J.Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, desa Trunyan, Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq tahun1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba desa Tegallalang. Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr.H.A.R. Van Heekeren. dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973-1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari Jaman Perudagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah Museum

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi : Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana, Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut, Masa bercocok tanam dan Masa perundagian. Sebagai perbandingan dengan bukti-bukti yang ditemukan di Pacitan dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis manusia. Pithecantropus Erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau keturunannya.

Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu. Goa ini terletak di Pegunungan Gamping di semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar ialah goa Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana.Dalam penggalian goa Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah alat-alat dari Tulang. Diantara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan. Alat-alat semacam ini ditemukan pula di goa-goa Sulawesi Selatan pada tingkat perkembanganKebudayaan toala dan terkenal pula di Australia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding goa , yang menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara lain yang berupa cap-cap tangan, binatang, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya.

Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.

Sisa-sisa kehidupan dari masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa Kapak batu dalam berbagai ukuran, belincung dan panarah batang pohon. Dari teori kern dan teori Von Heine gelrdern diketahui bahwa nenek moyang bangsa Austronesia. yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M ialah padaJaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan Kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia ke Asia tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia.

Gong, yang ditemukan, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian. Dalam masa Neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras.Cara penguburannya ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti ditemukan di tepi pantai Gilimanuk. Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik perhatian diantaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan tempayan ditemukan juga di Anyer Jawa Barat, Sabang (Sulawesi Selatan), Selayar, roti, dan Melolo (Sumba) . Di luar Indonesia tradisi ini berkembang di Filipina, Thailand, Jepang, dan korea.

Kebudayaan megalithik ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri "Menhir" yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering Jagat di desa Trunyan. Di Pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di desaSembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna, disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini. dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Diantaranya ada berbentuk teras berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan susunan batu kali.

Temuan lainnya yang penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di desa Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada masyarakat.
Masuknya Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

AGAMA HINDU DI INDIA

Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA

Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.: Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912): Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda): Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur): Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah): Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

(Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu - milik Departemen Agama - Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra dan dari berbagai sumber).

Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali. Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya Kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri kesari Warmadewa pada tahun913 Masehi yang menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasastiRaja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka tahun 1181 Masehi.

Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus ,Jayasakti, danAnak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua882 Masehi–914 Masehi badan ini disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.

Di dalam prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah monopoli raja-raja.

Dalam bidang agama, pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat. Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan masyarakat pada zaman setelah masuknya hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan RajaSri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanya mpungku Sewasogata (Siwa buddha) sebagai pembantu raja.


Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada

Ekspedisi Gajah Mada ke Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan bedahulu dengan raja Astasura Ratna bumi banten dan Patih kebo iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa, Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk Bali Aga. Dari sinilah berawal Wangsa kepakisan.
Periode Gelgel

Karena ketidakcakapan Raden Arya Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngelusir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan dipindahkan keGelgel (dibaca /gɛl'gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem waturenggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari zaman Gelgel adalah Dalem Dimade (1605—1686).
Zaman Kerajaan Klungkung

Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel. Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas tempat persembunyiannya di Semarapura.

Dengan demikian, Dewa agung klungkung Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Dimade I sedangkan raja Klungkung yang terakhir adalah Dewa Agung Dimade II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi Swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten.
Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung

1. Kerajaan Badung
2. Kerajaan Bangli
3. Kerajaan buleleng.
4. Kerajaan Gianyar
5. Kerajaan Krangasem
6. Kerajaan Klungkung
7. Kerajaan Tabanan

Masa 1846-1949

Pada periode ini mulai masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan sentimen Nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasanya (dari Bali).

Masa ini merupakan masa perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali. Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Perang Buleleng (1846) 2. Perang Jagaraga (1848--1849) 3. Perang Kusamba (1849) 4. Perang Banjar (1868) 5. Puputan Badung (1906) 6. Puputan Klungkung (1908) Dengan kemenangan Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda, berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda

Selasa, 29 Juni 2010

Pluralisme

Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, peradaban dan lain-lain. Kemunculan ide pluralisme didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim keberanan’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar.

Pluralisme sangat dekat dengan toleransi yang merupakan sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah Pluralisme beragama, dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan keberadaan agama-agama lainnya. Pluralisme akan menciptakan suatu interaksi beberapa kelompok-kelompok (terutama kelompok agama) yang menunjukkan rasa saling menghormati satu sama lain. Mereka hidup bersama dengan penuh kesadaran untuk saling menghormati atas dasar cinta kasih dan kemanusiaan sesuai dengan apa yang mejiwai setiap agama. Pluralisme adalah dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi. Disamping itu, Pluralisme juga sangat menghargai hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing. jadi Pluralisme tidak berarti mencampur adukan agama yang satu dengan yang lain. Ada hal-hal yang sama dari ajaran setiap agama namun juga ada yang menjadi pembatas yang jelas dari agama-agama tersebut.

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam interaksi sosial.

Pluralisme yang selalu menjadi diskusi agama-agama sangat erat kaitannya dengan sikap untuk saling menerima satu sama lain dan hidup berdampingan dengan agama-agama yang berbeda, serta dipergunakan dalam cara yang berlain-lainan pula sebagai pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran, dan dengan demikian di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan, setidak-tidaknya, suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar.

Pluralisme dalam Agama-agama

Seperti sungai-sungai mengalir lenyap kedalam samudra membuang nama dan bentuk, demikianlah yang mengetahui, bebas dari nama dan bentuk,memperoleh pribadi yang suci, lebih tinggi dri yang tinggi (Mundaka III.2.8)

Mahatma Gandhi pernah berkata , “Saya tidak mau rumah saya bertembok di sekelilingnya dan jendelanya ditutup rapat. Saya ingin kebudayaan dari semua bagian negara ini akan dapat dinikmati sebebas mungkin. Tetapi saya menolak jika kebudayaan saya ini dianggap rendah. Saya ingin agar para pemuda dan para wanita dengan penguasaan kesusastraan untuk belajar bahasa Inggris dan bahasa dunia lainnya seperti yang mereka suka seperti Bose, seorang Roy atau penyair lainnya. Tetapi saya tidak mau satu orang India ( Hindu ) pun melupakan budaya ini, mengabaikan atau merasa malu dengan bahasa ibu mereka sendiri, atau merasa bahwa ia tidak bisa berpikir atau mengungkapkan pemikirannya yang terbaik dengan bahasanya sendiri. Agama saya bukanlah agama penjara”. Lebih jauh tentang kerukunan umat beragama, Gandhi menyatakan: “Prinsip keyakinan di dunia berdasarkan wahyu Kebenaran; tetapi sebagaimana adanya dirumuskan oleh manusia yang tidak sempurna. Wahyu yang murni itu dicemari oleh ketidaksempurnaan dan ketidakbenaran. Seseorang harus menunjukkan sikap hormat kepada keyakinan orang lain sebagaimana dengan keyakinannya sendiri. Sikap salng menghomati hendaknya dijadikan hukum hidup,dengan demikian konflik antara keyakinan yang berbeda akan lenyap. Demikian juga tidak ada yang mengkonversi dari keyakinan orang ke dalam keyakinannya. Orang akan dapat sembahyang secara benar jika kecacatan dari agama-agama yang ada teratasi, dan ini merupakan bentuk yang tertinggi, perlahan-lahan menuju kesempurnnaan”.

Orang Hindu Meyakini Bahwa Bhagavadgita yang merupakan wacana Tuhan Yang Maha Esa, yang diwedarkan melalui sabda Sri Krishna, avatara-Nya menguraikan ajaran moralitas yang agung, ajaran kemanusiaan, toleransi dan kerukunan umat beragama yang sejati. Swami Vivekananda sejak tahun 1983 telah memperkenalkan ajaran moralitas, harkat dan martabat manusia, toleransi dan kerukunan umat beragama sebagai ekspresi dari ajaran Vedanta. Dalam perkembangan berikutnya, Mahatma Gandhi sampai akhir hidupnya mengajarkan ajaran suci Tuhan Yang Maha Esa, moralitas, Toleransi dan kerukunan hidup beragama. Dari uraian tersebut diatas sangat jelas agama hindu sangat Toleran terhada keyakinan bahkan Hindu dapat diterima oleh segala lapisan masyarakat manapun tanpa merusak budaya local.


AGAMA DAN CINTA KASIH

Dijaman yang sudah serba modern ini, insiden ancaman yang kerap berujung kekerasan tampaknya masih berlanjut di negari Pancasila ini. Kejadian semacam ini sama sekali tidak baru; khususnya sejak masa pasca-soeharto. dari waktu ke waktu, kita menyaksikan berbagai bentuk ancaman dan kekerasan atas nama agama. Mulai dari kasus Bom Bali, Bom Hotel JW Marriot, Bom Kuningan, Penyerbuan Pura Sangkareang di Kecamatan Narmada-Lombok Barat, penyerbuan Kampus Al-Mubarok, Ahmadiyah di Parung, Penutupan Rumah Ibadah Kristiani di Bandung Jawa Barat, tragedy kekerasan di Monumen Nasional Jakarta hingga yang terbaru adalah penghancuran Patung Tiga Mojang dibekasi, yang semuanya mengatasnamakan Agama. Secara tipikal, pelaku ancaman dan kekerasan menganggap mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

Tentu rangkaian kejadian ini sangat mengherankan bahwa Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan segala keistimewaan sehingga manusia dapat tampil beda dengan mahluk lain. Yang membedakan manusia dengan mahluk lain adalah, manusia diberikan kelebihan berupa akal buddhi sehingga manusia dapat hidup saling menyayangi dan mengasihi karena semua mahluk adalah ciptaan Tuhan (Vasudaiva kutumbhakam).

"There is only one religion, the religion of love, there is only one language, the language of the heart, there is only one caste, the caste of humanity, there is only one God, He is omnipresent" ungkapan tersebut bermakna bahwa semua agama memiliki semangat yang sama yaitu saling mengasihi dan menyadari bahwa kita tercipta dari Tuhan yang sama. Oleh karena itu semua mahluk hidup yang ada dimuka bumi merupakan perwujudan cinta kasih sehingga adalah sebuah kewajaran bahwa apapun yang kita lakukan haruslah didasarkan kepada cinta kasih.

Cinta kepada sesama merupakan perasaan simpati yang melibatkan emosi yang mendalam minimal ada empat syarat untuk mewujudkan cinta kasih, yaitu: Knowledge (pengenalan), Responsibilty (tanggung jawab), Care (perhatian), Respect (saling menghormati). Banyak manusia mengatasnamakan cinta kasih (agama) untuk menghalalkan setiap prilakunya. Rasa cinta kasih yang diberikan menunjukkan bahwasanya kita selalu ingin berempati dan ingin berkorban demi yang kita cintai dan kita hormati. Namun cinta kasih bisa menimbulkan kemelekatan yang membebani kita seperti misalnya Kecemburuan. Jika cinta kasih dalam sebuah agama menimbulkan beban dan melahirkan kecemburuan maka, akan berpotensi melahirkan kekerasan. Jika ini layak disebut cinta kasih maka, ini cinta kasih dengan kualias paling rendah. Jika agama terpisah dari cinta kasih maka, sangat membahayakan bagi peradaban kemanusiaan dimuka bumi ini. Dalai Lama berkata : “Kita bisa hidup tanpa agama, tapi kita tidak bisa bertahan lama tanpa cinta kasih”

Ajaran hindu penuh dengan ungkapan cinta kasih salah satunya adalah ahimsa (tidak menyakiti). Menurut Mahatma Gandhi, Ahimsa merupakan tindakan yang tidak memiliki keinginan untuk membunuh dan tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci, tidak membuat marah, tidak mencari keuntungan diri sendiri dengan memperalat dan mengorbankan orang lain. Menurut Gandhi, ahimsa dan kebenaran ibarat saudara kembar yang sangat erat hubungannya. Namun, ia membedakannya dengan jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan kebenaran sebagai tujuannya. Tindakan mengejar kebenaran dengan sarana ahimsa tanpa adanya kekerasan bukan melakukan kekerasan atas nama Kebenaran, Agama apalagi mengaku mewakili Tuhan. Mahatma Gandhi adalah pelopor perjuangan Swadesi/cinta kasih, dengan tanpa kekerasan memboikot industri (Penjajah) inggris dengan memajukan Swadesi.

Berbeda dengan kisah Gandhi, Maharsi Dayananda mempunyai kisah yang menarik untuk dapat memberikan kita inspirasi akan kemuliaan cinta kasih yakni Sang maharsi dengan seorang tukang masak yang sudah lama melayaninya yang bernama Jagannatha. Pada suatu hari Jagannatha disuap oleh seseorang yang benci kepada maharsi Dayananda ia dibujuk agar mau membubuhkan racun pada makanan yang akan dihidangkan kepada maharsi. Karena tergoda oleh uang yang dijanjikan maka jagannatha pun mau melakukannya. Akibatnya maharsi Dayananda keracunan hebat sehingga tidak bisa bangun dan tinggal menunggu ajalnya. Dalam keadaan yang demikian maharsi memanggil Jagannatha: "Ini adalah uang untuk membeli tiket perjalananmu pulang ke Nepal. Cepatlah pergi sebelum pengikutku tahu, apa yang engkau telah perbuat, kalau tidak mereka akan mencabik-cabik tubuhmu menjadi berkeping-keping".

Apa sebab maharsi Dayananda dan Mahatma Gandhi mudah sekali memaafkan orang yang membencinya? karena mereka sangat mencintai Tuhan dalam ajaran agamanya dan cinta kasih telah menjadi darah dagingnya, cinta tanpa syarat atau janji akan masuk ke surge. Betapapun besar kebencian orang dijawab dengan uluran kasih. Karena kebencian tidak akan bisa dilenyapkan dengan kebencian, kebencian akan bisa dilenyapkan dengan cinta kasih. Kita melihat didalam pemberitaan media massa dimana kebencian selalu dibalas dengan kebencian dan perusakan, penyerbuan dan pembakaran rumah-rumah ibadah tanpa alas an yang jelas.

Bagi mereka yang meninggal dan masih membawa dendam akibat kebenciannya sewaktu masih hidup di dunia, mereka akan sengsara, rohnya akan gentayangan menjadi hantu, ingin membalaskan dendamnya kepada orang yang dibencinya. Rohnya tersesat tak bisa masuk sorga karena kemelekatan pada kehidupan didunia, padahal dia tidak mempunyai jasad lagi. Anak-anak sekarang mungkin sulit bisa menerima sikap dari Mahatma Gandhi yang dianggapnya konyol, pasif dan menyerah. Namun Kemarahan merupakan musuh yang harus ditaklukan sama buruknya dengan kebencian. Kemarahan menjadikan orang lupa kepada kebenaran dan akal sehat. Kata-kata yang keras dan tajam penuh caci maki serta tindakan yang kejam selalu muncul dari orang yang marah sekalipun sambil meneriakan nama Tuhan. Akibatnya kebaikan yang telah dirintis bertahun-tahun bisa lenyap dalam satu menit akibat kemarahan. Kemarahan akan bisa menjadikan mata gelap dan pikiran buntu. Sadarlah dan ingatlah bahwa kemarahan itu seperti setumpuk jerami kering yang disulut dengan sebatang korek api akan musnah dalam sekejap. Demikian pula akibat kemarahan akan menghancurkan kebaikan-kebaikan yang terdahulu dalam sekejap. Kemarahan sangat dekat dengan kebodohan.


Apakah semua agama mengajarkan kebenaran?

Semua umat beragama mengaklaim bahwa agamanya selalu yang paling benar, mengajarkan kebaikan dan kehalusan budi pekerti, hal ini dapat diterima karena setiap umat beragama wajib mencintai agamanya dengan penuh percaya diri dan mejadikan ajaran agamanya sebagai pedoman hidup. Namun ketika kebenaran mendua lantaran setiap pemeluknya mengaku diri paling benar dan mengklaim bahwa Tuhan berada dipihaknya maka tentu akan sangat membahayakan.

Ada ungakapan, Cintailah musuhmu dan lepaskanlah mereka yang tertawan dengan mengawini puteri yang tercantik dari antara mereka, kemudian bunuhlah mereka semua selagi mereka lengah. Cintailah nabimu dengan penuh ketaatan tanpa protes akan tindakan-tindakan negatifnya dan menutup akal dan matahatimu. “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Tuhan) bagi orang-orang (yang dianggap) musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam dan orang-orang yang beriman memiliki kewajiban untuk memerangi orang-orang kafir yang ada di sekitar nya itu, dan hendaklah mereka diperlakukan dengan keras.”

Ini tampak berbeda tatkala bali setelah dua kali diserang Bom tetapi justru umat hindu bali “membalasnya” dengan bunga dan doa untuk memohon kepada Tuhan agar para pelaku diampuni dan disadarkan dari segala kekeliruannya , umat hindu bali justru melantunkan “nyanyian dharma” dan menggemakan “TAT TVAM ASI “ Aku adalah engkau, engkau adalah aku.

Kamis, 20 Mei 2010

GURU




Dhyàna mùlaý gurur murtiá

Pùjà mùlaý gurur padam,

Mantraý mùlaý gurur vàkyaý

Mokûa mùlam gurur kåpam 

(Gurustotra 1.)

 

(Pada saat mulai belajar pusatkanlah pikiran pada sosok sang guru,

saat mulai melakukan pemujaan, berbaktilah di depan kaki guru,

mantram adalah ajaran pertama kali keluar dari ucapan guru

dan untuk mencapai Mokûa mulailah dari karunia guru)


"Guru ngaranya,wang awreddha, tapowreddha,
jñànawreddha.Wwang awreddha ng.sang matuha
matuha ring wayah, kadyangganing bapa, ibu.
pangajyan, nguniweh sang sumangàskàra rikita.
Tapowreddha ng. sang matuha ring brata, Jñàna-
wreddha ng. sang matuha rting aji" 

(Yang disebut guru adalah orang yang sudah Awreddha, Tapo-
wreddha, Jñànawreddha. Orang Awreddha adalah orang yang
sudah lanjut usianya seperti bapa, ibu, orang yang mendidik
(mengajar/pangjyan), lebih-lebih orang yang mentasbihkan
(mensucikan/sumangàskàra)engkau.Tapowreddha disebut bagi
orang matang di dalam pelaksanaan brata.Jñànawreddha adalah
orang yang ahli di dalam ilmu pengetahuan (spiritual)


Oý Gurur Brahma Gurur Vishnu
Gurur deva Mahesvara,
Gurur sàksat Param Brahma
tasmai Srì gurave namahá.

(Om Hyang Widhi, Engkau adalah Brahma, Vishnu dan
Mahesvara, sebagai guru agung, pencipta, pemelihara
pelebur alam semesta. Engkau adalah Guru Tertinggi,
Param Brahma, kepada-Mu aku memuja)

THOUGHT FOR THE DAY


Jika segalanya dipersembahkan kepada Tuhan, tidak akan ada ruang untuk kecemasan atau kesedihan, atau bahkan kegembiraan. Jika engkau membebaskan dirimu dari keterikatan, kedamaianmu (Shanti) tidak pernah terganggu. ‘Aku’, ‘Kepunyaanku’, ‘Milikku’, ‘Engkau’, ‘Kepunyaanmu’ – ketika gagasan-gagasan ini memenuhi pikiran, Shanti mengalami kemunduran.

Minggu, 16 Mei 2010

Sai Inspires - 9th February 2010




If a tree has to be destroyed, there is no use trying to kill it by plucking its leaves one by one. It takes too long a time and, besides, it may not work. The ancient seers realized that this was true even with respect to eliminating bad qualities within us and hence focused their spiritual practices and energies to transform themselves completely. They also won the grace of the Lord. If intelligence alone is sharpened without the cultivation and practice of virtues and the brain becomes a mere storehouse of information, the world cannot progress; its welfare will be in jeopardy. That education alone is beneficial which gives full scope for the blossoming of all virtues that distinguish a human from an animal.



Jika sebatang pohon harus dimusnahkan, tidak bisa dengan cara mencabuti daunnya satu per satu. Itu akan memakan waktu yang sangat lama dan, disamping itu, bisa jadi tidak akan berhasil. Orang bijak pada masa lalu telah menyadari bahwa hal tersebut benar adanya bahkan jika hal itu dimaksudkan untuk menghilangkan tabiat buruk yang ada di dalam diri, maka dari itu mereka memusatkan perhatian dan energinya pada latihan spiritual untuk mengubah diri mereka secara menyeluruh. Mereka juga telah mampu meraih kasih Tuhan. Jika hanya kecerdasan semata yang diasah tajam tanpa menumbuhkan dan melaksanakan kebajikan, dan otak hanya sebagai tempat penampungan informasi, maka dunia ini tidak akan bisa mencapai kemajuan; kesejahteraan umat manusia akan berada dalam bahaya. Hanya pendidikan spiritual sejatilah yang memberi manfaat dan akan memekarkan kebajikan sepenuhnya yang membedakan manusia dari binatang.

-Divine Discourse, Prema Vahini.

INSPIRASI - SAI

Food when left unconsumed for long becomes stale and emits foul smell. So too, when our faults are not corrected, they will have a negative impact on our own lives. We must persist in the internal cleansing process, either by our own efforts or by heeding to the advice of those sympathetic souls who have succeeded in cleansing themselves. If we do not do it, like the plate of cooked food left aside too long, our life will begin to degenerate.

Makanan jika terbengkalai untuk waktu yang lama akan menjadi basi dan mengeluarkan bau busuk. Demikian juga, jika kesalahan seseorang tidak mulai diperbaiki, hal itu akan berakibat negatif dalam hidupnya. Kita harus tetap bertahan dan berusaha untuk terus membersihkan diri sendiri, apakah itu dengan usaha sendiri atau dengan mengikuti nasehat dan bantuan penuh simpati dari jiwa-jiwa yang telah berhasil membersihkan dirinya sendiri. Jika kita tidak melakukan hal tersebut, maka bagaikan sepiring makanan yang terbengkalai begitu lama, hidup kita akan mulai terjerumus dan mengalami penurunan.

-Divine Discourse, Vidya Vahini.


THOUGHT FOR THE DAY

The real Tapas or asceticism in life is to observe disciplines and restrictions as prescribed. The mind is the foremost of the three inner instruments in human beings. We must protect the mind so that attachment, passion and excitement do not enter in to it. These extremes are natural to the mind. The waves that rise in fury in the mind are lust, anger, greed, attachment, pride and envy. These six are your inner foes. Lust and anger bring on the remaining four. To release ourselves from these inner foes and to proceed on our spiritual path, we must observe spiritual practices.

Pertapa sejati adalah mereka yang dalam hidupnya mematuhi aturan-aturan (disiplin) dan melakukan pembatasan keinginan seperti yang telah ditentukan. Pikiran adalah yang terpenting dari ketiga instrumen batin pada manusia. Kita harus melindungi pikiran agar kemelekatan, nafsu, serta kegembiraan yang berlebihan tidak masuk ke dalamnya. Ini adalah sifat yang alami dari pikiran. Gelombang dahsyat dalam pikiran adalah nafsu, amarah, keserakahan, keterikatan, kesombongan, dan iri hati; ini adalah enam musuh dalam diri kita. Nafsu dan amarah merupakan penyebab dari timbulnya keempat hal yang lainnya. Untuk melepaskan diri kita dari musuh-musuh yang ada dalam diri kita dan untuk menuju ke jalan spiritual, kita harus menjalankan praktek spiritual.

Sabtu, 15 Mei 2010

Samskaras




Kewajibanmu sehari-hari (Samskaras) dapat membuat hidupmu berhasil atau gagal. Ini adalah langkah-langkah yang membawa semua mahluk pada tujuan mereka. Tindakan buruk yang engkau lakukan mengakibatkan kerugian dan kesedihan. Hanya melalui tindakan yang baik, engkau dapat mencapai Tuhan. Jadi setiap individu harus sepenuhnya terlibat dalam tugas-tugas yang baik. Lakukan kewajibanmu dengan tulus, ini adalah wujud pemujaan sejati. Hal ini adalah bentuk terbaik untuk mengingat Tuhan. Ini adalah Bhajan yang tertinggi dan penyebaran cinta-kasih tanpa melihat perbedaan ataupun pertentangan. Kewajibanmu sehari-hari tidak lain hanyalah melakukan pelayanan. Terlibatlah didalamnya, ingatlah dengan tiada henti, tujuan untuk mencapai Tuhan. Ini adalah jalan menuju keberhasilanmu.

Divine Discourse, Vidya Vahini.


Rare and costly articles might attract us by their external beauty, but to the eye that is illumined by spiritual light, it will appear trivial in value. Physical charm and strength can never overpower spirituality. The passion that breeds egotism can be identified wherever selfishness and pride are displayed. Until this mode of thought and action are suppressed, the quality of goodness will not shine. You must ensure that goodness prevails so as to propitiate, please and win the grace of the Lord.

Barang-barang yang langka dan mahal harganya mungkin akan menarik perhatian kita karena keindahannya, namun bagi mata yang telah diterangi oleh cahaya spiritual, maka barang-barang tersebut akan tampak sepele nilainya. Daya tarik dan kekuatan badaniah tidak akan mampu melampaui spiritualitas. Hawa nafsu yang menumbuhkan rasa congkak akan terlihat dimanapun egoisme dan keangkuhan terpampang. Kalau cara berpikir dan bertindak seperti ini belum hilang, maka sifat-sifat kebaikan tidak akan bersinar. Engkau harus memastikan bahwa kebaikan ini akan tersebar luas untuk bisa menebarkan kedamaian, memberi kebahagiaan dan meraih anugerah Tuhan.

-