Kamis, 29 Januari 2009

CINTA KASIH


Sang Buddha pernah menyatakan:

"Loko Patthambhika Metta". 
Hanya cinta-kasihlah yang bisa menyelamatkan dunia ini.

Cinta kasih seakan menjadi “citarasa” dalam kehidupan. Tanpa cinta kasih maka,ia bukanlah orang yang beragama dengan kata lain jika agama kehilangan cinta kasih maka, akan menimbulkan malapetaka besar. 

Cinta kasih adalah Mutiara berharga yang dimiliki umat manusia sehingga muncul sebuah kehidupan yang lebih beradab. Jika cinta kasih telah ternodai ia taklagi membawa kebahagiaan justru kegelapan pikiranlah yang ditimbulkannya. Dunia material telah mendominasi pikiran manusia sehingga pikiran menjadi penguasa. Jika pikiran menjadi penguasa maka cinta tak lagi hadir sebagai bentuk pelayanan terhadap sesama (sevanam) tetapi justru sifat keakuanlah yang muncul. Cinta akan berubah menjadi rasa (ingin) memiliki. Dengan menghalalkan segala cara manusia akan berusaha memenuhi keinginannya dan apapun tindakannya selalu benar.

Ada ungkapan “Manawa seva madawa seva” melayani sesma juga merupakan pelayanan terhadap TUHAN. Jika kita belum mampu mencintai ciptaanNYA sulit dibayangkan kalau kita mampu mencintai (berbhakti) kepadaNYA. Demikian luasnya cinta kasih hingga ia tak lagi mengenal batas agama, ras, golongan dan suku bangsa. 

Berdoa dan “ngayah” kepada sesama adalah usaha untuk mengasah ketajaman cinta kasih karena, esensi cinta kasih dan bhakti hanya dapat dilakukan lewat pelayanan (memberi)dengan semangat bhakti (yang ) tulus bukan dengan berorientasi akan hasil.

Dalam Bhagawad-gita Filsafat cinta kasih mempunyai tempat yang penting dalam kehidupan umat manusia. Krishna bersabda :
 "Mereka yang mengabdi kepada TUHAN dengan penuh cinta kasih, mereka itulah yang akan mendapat karunia cintai juga dari TUHAN." Namun ini tidak berarti bahwa manusia harus mengabaikan pengetahuan duniawi. Untuk memperoleh pengetahuan duniawi pun kita harus belajar (Jnana) dengan sungguh-sungguh.

Bhagawan sri satya narayana berkata :
“Jika engkau menginginkan kebahagiaan dan kedamaian, engkau harus memberikan kasih. Hanya melalui kasih engkau akan mendapatkan kebahagiaan sejati. Hanya melalui kasih engkau akan memperoleh ketentraman batin. Kasih hidup dengan memberi dan memaafkan. Karena itu, kembangkanlah kasihmu, hiduplah dalam kasih. Kata-kata Sai ini adalah pancaran kasih yang mengalir kepadamu.”


Demi kepuasan manusiawi manusia memberikan nama dan wujud kepada Tuhan, tetapi sesungguhnya Ia sama sekali tidak berwujud. Namun, Ia mengambil suatu wujud sehingga kita dapat memuja-Nya dan mengagumi-Nya, berbhakti dan mencintai-Nya dan dengan demikian terpenuhilah cita-cita spiritual. Untuk kepuasan diri sendirilah kita memberi nama serta wujud kepada Tuhan dan menggunakan hal ini untuk memuja-Nya. Apa pun juga wujud Tuhan yang dipilih dan diikuti, semua yang memuja-Nya dengan hati yang penuh kasih akan dikenang selamanya.

Ramakrisna Paramahamsa bukan seorang cendekiawan dalam masalah duniawi, ia hampir buta huruf, tetapi pikiran dan perasaannya selalu tenggelam dalam pemujaan pada TUHAN dengan hati yang senantiasa penuh kasih. Ia tidak berminat pada jenis pendidikan lain. Ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk memuja Tuhan sebagai Ibu Dewata dan hidup hanya dengan uang lima rupi sebulan; itu sudah cukup untuk memenuhi semua keperluannya. Walau ia tidak berpendidikan tinggi dalam pengetahuan duniawi, tetapi kini ia “hidup” kekal dalam hati kita semua.


Rabu, 28 Januari 2009

Malam Siwa

Siwa Ratri (Malam Siwa) adalah momen peleburan dosa dengan melakukan tapa brata.
Tujuannya agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di dunia ini. Perayaan Siwaratri tak dapat dipisahkan dengan cerita LUBDHAKA ( kekawin Siwaratrikalpa ) yang dikarang oleh Mpu Tanakung- Kakawin ini ditulis pada Abad ke 15. Di dalam cerita ini dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu di tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari mangsa, tidak dapat. Padahal hari mulai malam. Maka supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa binatang buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh tertidur. Untuk itu ia lalu memetiki daun-daun pohon Bilva yang dipanjatnya dan dibuanginya ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas dan sekitar lingga tersebut.

Selang beberapa lama ia pun melupakan peristiwa ini dan kemudian meninggal dunia. Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu mau ke mana. Maka Batara Yama melihatnya dan membawanya ke neraka. Tetapi pada saat yang sama Batara Siwa melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut "Malam Siwa" (Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di atas lingga, simbolnya di bumi.

Lalu pasukan Yama berperang dengan pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke sorga. Siwapun menang dan Lubdhaka dibawanya ke sorga.

Hutan - hutan tempat Lubdhaka berburu mungkin kini telah berubah menjadi Hutan beton dan perkantoran, jalan raya besar dan pemukiman padat penduduk karena keturunan Lubdhaka telah semakin banyak. Binatang buas yang mengancam “memakan” Lubdhaka pun sudah tidak ada lagi karena bisa saja Harimau pada masa Lubdhaka hidup, kalah buas dengan Manusia masakini. Keturunan LUBDHAKA kini bahkan saling buru dengan keturunan lubdhaka yang lainnya. Sehinga seharusnya keturunan Lubdhaka masa kini juga harus melakukan Tapa Brata “bergadang/ terjaga” dan tidak terlena oleh godaan Kaliyuga. "Terjaga" bukan lagi ditengah hutan lebat tetapi dalam kehidupan yang materialistis dan mementingkan diri sendiri.

Untuk menerobos “gelap”nya hutan dijaman kali hanya ada satu cara yaitu cahaya TUHAN (SIWA) dalam hati yang harus dinyalakan sehingga tidak padam. Jaman boleh gelap tetapi jangan sampai hati juga gelap. Dengan cahaya hati, duniapun perlahan mulai bercahaya. Hanya mengingat dan menyebut nama TUHAN lah Lubdhaka mencapai alam Dewa SIWA bedanya, Lubdhaka mungkin melakukan dengan terpaksa (menghindari terkaman Binatang Buas) sedangkan kita jauh memiliki kesempatan untuk untuk secara sadar menghindari sifat “binatang buas” yang menerkam hati nurani kita.

Senin, 12 Januari 2009

Melihat Swarnadwipa Dharmakirti dan Atisa Dipankara Sri Jnana di Sriwijaya 20 Jul '08



Oleh: Bhiksu Bhadra Ruci

Swarnadwipa Dharmakirti

Adalah terjemahan Tibet dari kata pa secara harfiah menunjuk pada orang, Jadi gSer-gling-pa berarti orang yang berasal dari Serling/ Swarnadwipa. Nama asli beliau adalah Dharmakirti. Pada banyak catatan yang bisa diketemukan, hanya mencatat bahwa Atisa berlayar selama empat belas bulan, ada yang mengatakan tiga belas bulan dari Benggal (India) menuju Swarnadwipa pada usia tiga puluh satu tahun dan tinggal di Swarnadwipa selama tiga belas tahun lamanya. Pada waktu itu di Dharmakirti adalah seorang guru agama Buddha yang sangat terkenal yang bertempat tinggal di ibukota Sriwijaya. Perjalanan pelayaran ini dimulai pada tahun 1012 Masehi, ada juga yang mengatakan pada tahun 1013 Masehi. 

Dikatakan dalam Riwayat Guru-Guru Lamrim, bahwa Dharmakirti pergi ke Jambudwipa (India) belajar di bawah Sri Ratna dan menjadi biksu di bawah guru ini. Dikatakan juga Dharmakirti lahir dari keluarga kerajaan, dia adalah anak raja dari Sriwijaya.

Dimanakah Swarnadwipa? Dari arti kata swarna (sansekerta) berarti emas dan dwipa berarti pulau. Swarnadwipa berarti pulau emas. Apakah artinya pulau yang terdapat banyak emas, atau pulau yang tanahnya kuning mirip emas. Ada catatan yang cukup jelas di Tan-gyur pada bagian Abhidsamaya-alamkara-nama-prajnaparamitra-upadesa-sastra-vrtti-durbodha-aloka-nama-tika edisi Peking, pada bagian catatan akhir menerangkan bahwa : ditulis oleh Dharmakirti atas permohonan raja Sri-Cudamaniwarman, pada tahun ke 10 masa pemerintahan raja Cudamaniwarnan di Vikjayanagara dari Swarnadwipa. Dan pada bagian katalog, Cordier menuliskan pengarang dari teks tersebut adalah : acarya Dharmakirti dari Swarnadwipa dan ia menambahkan : karya tersebut ditulis pada jaman kekuasaan Dewa-Sri-warman-raja, Cudamani alias Cudamanimanpada, di Malayagiri wilayah Wijayanagara dari Swarnadwipa. Kita dapat menafsirkan bahwa Wijayanagara adalalah ibukota dari kerajaan Swarnadwipa dan Sri-wijaya adalah sama dengan Sriwijaya. Dengan demikian Swarnadwipa dipastikan adalah pulau Sumatera yang berada di Indonesia. 

Pada catatan dari Cina kita dapat memperoleh keterangan bahwa pada tahun 1003 Raja Sri Culamaniwarman mengirim dua utusan ke Cina untuk membawa upeti. Dan pada tahun 1008 datang lagi utusan dari raja yang sama ke Cina. Dengan demikian dapat kita perkirakan Dharmakirti menulis risalah Prajnaparamita Sutra tersebut berkisar permulaan abad XI. Dapat pula bahwa Atisa datang ke Swarnadwipa pada masa pemerintahan raja Cudamaniwarman. Dan Raja Mara W ijayottunggawarman, anak raja Cundawarman ini mendirikan vihara di India Selatan atas nama ayahnya. 

Pada risalah Lamrim menjelaskan bagaimana Atisa ketika tiba di Sumatera. Dikatakan bahwa Atisa setibanya di Sumatera bersama dengan seorang murid yang bernama Ksitigarbha, tidak langsung bertemu dengan guru Dharmakirti, tetapi ia tinggal bersama di daerah murid guru Dharmakirti berdiam untuk memperoleh informasi tentang sang guru tersebut dari para muridnya. Setelah mengetahui kedatangan Atisa, sang calon guru mengumpulkan para biksu tempat Dharmakirti tinggal dan menuju tempat Atisa tinggal guna menyambut kedatangan seorang guru besar dari India. Pada bagian Lamrim yang lain lebih jelas menerangkan bahwa rombongan Guru Dharmakirti sebanyak 597 orang, diantaranya 535 adalah bhiksu, mengenakan pakaian kebiksuan lengkap, membawa mangkok biksu dan tongkat khakkhara. Akan tetapi tidak menerangkan warna jubah yang dikenakan oleh para bhiksu ketika itu. Tetapi rombongan Atisa mengenakan jubah yang dicelup dengan pewarna saffron dari Kasmir, membawa mangkok biksu dan khakkhara, juga mengenakan topi pandita dan membawa pengusir serangga dari ekor yak.

Tidak ada yang tahu sampai kapan Guru Besar Dharmakirti hidup. Catatan dari Tibet menerangkan beliau hidup hingga usia 150 tahun dan bertempat tinggal di Swarnadwipa ketika Atisa mencapai kedudukan tertinggi sebagai pendeta besar di biara Vikramasila di India.

Beberapa karya dari Dharmakirti antara lain yang masih bisa dilacak dari Tan-gyur: Siksa-samuccaya-abhisamaya-namah. Pada catatan akhir dari karya ini dituliskan pengarangnya adalah Ser-ling-gyalpo-pal-dan cho-kyon, yang artinya Sri Dharmapala dari Swarnadwipa. Ada banyak diskusi tentang Dharmakirti dan Dharmapala. Sebagian sarjana mengatakan kedua orang tersebut adalah sama, sebagian menerangkan tidak. Sayangnya kita tidak menemukan banyak catatan maupun informasi tentang hal ini. Khusus tentang hal ini, pada catatan akhir dari Satya-dvaya-avatara oleh Dipankara menyebutkan nama seorang guru Mahayana Dharmapala, raja dari Swarnadwipa.

Atisa

Atisa (982-1054 M) dilahirkan pada keluarga kerajaan di kota Zahor dengan nama Chandragarbha, adalah anak ke dua dari raja yang berkuasa di India bagian timur yang sekarang adalah Bengal. Ayah beliau adalah Raja Kalyanasri dan Ibu beliau adalah Sri Prabhawati. Saudara tua Atisa adalah Padmagarbha dan yang terkecil adalah Srigarbha. Kerajaan tersebut bernama Vikramapura. Pada catatan akhir dari Prajna-paramita-pindartha-pradipa, Tan-gyur edisi Peking, tertulis : Teks ini mengandung dokterin dari Buddha, biksu kelahiran Bengal menulis berdasarkan sastra-sastra dan guru-vacana. Juga pada Bodhi-marga-pradipa-panjika-nama tertulis :"...Dipankara Sri jnana, a descendant of the Bengalae King... representatif dari Buddha masa kini, Dipankara Sri Jnana yang lahir di Bengal", dan beberapa karya dari beliau mencatat hal yang sama. Pada catatan dari Tibet juga menginformasikan pada kita bahwa tempat kelahiran Atisa adalah Bengal, negeri bagian dari India. 

Atisa sejak usia muda telah belajar Buddhis. Sebelum ditahbiskan menjadi biksu, Atisa mencari guru untuk belajar Mahayana dan Tantra. Adalah Vidyakokila Muda yang bernama Avadhutipa mengajarkan banyak Dharma pada Atisa dan beliau tinggal bersama dengan guru ini selama 7 tahun. Pada usia 29 Atisa di tahbiskan menjadi biksu oleh Silaraksa dari tradisi Mahasamghika. Dipankara atau Dipankara Sri Jana adalah nama tahbis yang diberikan oleh Silaraksa padanya. Dikatakan bahwa Atisa telah belajar pada 157 orang guru di India dan beliau menjadi seorang cendikiawan besar Buddhis pada masa itu. Atisa mengenyam pendidikan di biara Nalanda, biara Buddhis yang sangat terkenal waktu itu. Sistem pendidikan filosofis Buddhis yang ketat dan mendalam akhirnya membentuk Atisa menjadi seorang cendikiawan hebat. Atas petunjuk Tara, beliau berangkat ke Swarnadwipa untuk memperoleh pelajaran tentang Bodhicitta pada Guru Dharmakirti. Dari Gurunya Rahulagupta, Atisa menerima semua pelajaran tentang Tantra dan mengintruksikan untuk menjadikan Maha Karunika sebagai Istadewata.

Apa yang membuat Atisa, seorang biksu yang sangat terpelajar bersusah payah datang ke Sumatera untuk bertemu dengan Dharamkirti? Adalah mengenai Dharma apa yang seharusnya dilatih oleh seseorang agar dapat mencapai pencerahan dengan cepat, dan kesimpulan yang dicapai adalah sama-beliau harus melatih diri dalam batin pencerahan. Salah satu dewi tersebut juga menggambarkan kepada rekannya sebuah metode efektif untuk melatih diri sendiri dalam batin ini. Atisa menghentikan pradaksinanya dan mendengarkan dengan seksama, menerima apa yang mereka katakan bagaikan cairan yang dituangkan dari satu bejana ke bejana lainnya.

Lebih jauh lagi pada teks yang sama menjelaskan: ketika Atisa duduk dekat tembok batu yang dibangun oleh Nagarjuna, beliau melihat dua wanita tidak jauh dari sana, satunya muda dan yang satunya lagi tua. Yang tua mengatakan kepada yang muda bahwa siapapun yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat seharusnya melatih diri mereka dalam batin pencerahan. Lalu pada waktu lain, ketika melakukan pradaksina Maha Bodhi Vihara beliau mendengar kata-kata ini diucapkan dari gambar seorang Tathagata di bawah sebuah beranda: "O Bhadanta, seseorang yang berharap untuk mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya sendiri dalam kebaikan hati, cinta kasih, dan batin pencerahan." Dan ketika melakukan pradaksina pada sebuah bangunan kecil dekat tembok batu tersebut, tidak jauh dari sana beliau mendengar gambar Buddha Sakyamuni berwarna gading berkata, "Yogi, seseorang yang ingin mencapai pencerahan dengan cepat harus melatih dirinya dalam batin pencerahan."

Dari catatan yang kita peroleh menjelaskan bahwa hanya di Swarnadwipa-lah, oleh Dharmakirti yang telah memperoleh pelajaran inti untuk penerangan (bodhicitta), yang secara unik yakni menggabungkan dua metode yang ada menjadi satu dalam melatih kemajuan batin untuk mengembangkan bodhicitta. Pada Riwayat Guru-Guru Lamrim mengatakan : "Lebih dari itu Beliau juga menerima secara khusus silsilah dua pionir Maha Guru Mahayana: Silsilah Praktek Kebijaksanaan Mendalam oleh Maha Guru Nagarjuna dan Silsilah Praktek Metode Luas oleh Arya Asangha. Tambahan lagi Ajaran tentang Tiga jenis makhluk sesuai tahapan Jalan Menuju Pencerahan Agung yang mana kesemuanya ditransmisikan hingga masuk ke dalam hati sanubarinya dengan tanpa ada yang terlewatkan. Beliau menerapkan gabungan instruksi Abhisamayalamkara dan Prajnaparamita Sutra yang menyebabkan beliau menjadi yang terbaik dari para cendekiawan. Yang juga istimewa adalah kekuatan tekad serta keyakinan akan kebenaran bahwa dengan membangkitkan batin maha mulia Bodhicitta bagai gelombang samudra yang dahsyat maka Beliau mampu memberikan kasih sayang yang besar dan bekerja demi kepentingan segenap makhluk lain sebagaimana instruksi silsilah mendalam yang ditransmisikan dari bodhisattva Manjushri hingga Bodhisattva Shantidewa." Lebih lanjut dalam teks menjelaskan keagungan dari Dharmakirti : "Beliau yang memiliki bodhicitta nan penuh cinta kasih dan welas asih yang mendalam dan luas kepada segenap makhluk juga memperoleh gelar Sang Metripa yang dicabut dari akar nama Bodhisattva Maitreya. Sejak itulah beliau terkenal sebagai Lama Serlingpa Metripa (Sang Pengasih dan Penyayang dari Pulau Emas)."

Setelah kembali dari Sumatera ke India, Raja India Mahapala meminta beliau menjadi kepala biara Vikramasila dan menduduki posisi Pendeta Tinggi. Setelah beberapa tahun kemudian, Atisa diundang ke Tibet untuk menghidupkan kembali Buddhis di tanah bersalju setelah terjadi kemerosotan oleh Raja Langdharma dari tahun 838-842 M. Beliau berangkat dari biara Vikramasila, yang menjadi kepala biara waktu itu adalah Ratnakara.

Atisa memberikan sumbangan yang sangat besar pada perkembangan Buddhis di masanya dan masa sekarang, terutama pada kebangkitan kembali Buddhis di Tibet. Setelah kembali dari Sumatera, beliau menyusun Bodhi-patha-pradipa (Lampu Penerangan Sang Jalan), yang menjadi teks dasar oleh Tsong Khapa (1357-1419) menyusun Jalan Bertahap Menuju Pencerahan (Lamrim) selesai pada tahun 1402 yang memberi pengaruh yang luar biasa pada para biarawan, pendeta, maupun para cendikiawan yang mempelajari filosofis Buddhis.

Pengaruh dan peranan Buddhis pada masyarakat Sriwijaya
Dari informasi yang kita dapat tentang Dharmakirti dan Atisa, terutama dari sudut pandang sejarah perkembangan Buddhis pada masa tersebut kita dapat memperkirakan seperti apa masyarakat dan kebudayaan di Sriwijaya. Bagaimanapun, masyarakat waktu itu adalah penganut Buddhis. Dimana-mana dapat dijumpai biarawan, biksu yang mengenakan jubah berwarna saffron. Biara-biara dapat dengan mudah dijumpai. Pada pagi hari dan senja wangi dupa dan semaraknya bunga-bunga dapat kita temui di semua pelataran biara, stupa dan bahkan rumah-rumah. Sayangnya tidak ada catatan yang jelas menerangkan bentuk pakaian biksu pada jaman Sriwijaya. Kita tidak dapat mengacu pada bentuk pakaian yang ada di negara Buddhis dewasa ini, seperti Thailand maupun Burma. Di kedua negara telah terjadi penyesuaian pakaian kebiksuan dengan lingkungan dan kebudayaan. Seperti juga pada biksu dari negeri Cina, I-Tsing mengatakan pada Catatan perjalanan ke Selatan bagaimana bisa kita orang dari negeri Cina yang memiliki pakaian yang elegan digantikan oleh pakaian orang India. Termasuk warna dari jubah biksu juga kita tidak memiliki informasi yang jelas. Meskipun Buddha sendiri mengharuskan para biksu mengenakan jubah berwarna saffron. Para biksu dari Thailand, Tibet, Cina, dan Korea menafirkan warna sesuai dengan cuaca mereka masing-masing.

Keberadaan biksuni juga menjadi pertanyaan, apakah kaum perempuan dari Sriwijaya ada yang menjalani kehidupan spritiual? apakah kondisi waktu itu cukup bagus bagi kaum perempuan untuk memasuki kehidupan biara? Bagaimana peranan perempuan bagi perkembangan Buddhis di Sriwijaya? Sayangnya tidak ada catatan sama sekali tentang hal ini.

Atisa sendiri menerima pentahbisan biksu dari tradisi Mahayana, dan Dharmakirti juga adalah seorang pendeta tinggi dari Mahayana, maka perkembangan pemikiran Mahayana Buddhis di India cukup banyak mempengaruhi kebudayaan Sriwijaya. Adanya persembahan bunga-bunga dan dupa wangi berasal dari kebudayaan India dan lebih banyak dipakai oleh kaum Mahayanis. Persembahan untaian bunga pandan yang hanya ada di Palembang sekarang tidak terlepas dari untaian bunga yang seringkali dipergunakan oleh kaum buddhis pada umumnya.

Dupa dari cendana, kayu gaharu, kemenyan wangi yang waktu itu merupakan komoditas perdagangan dipergunakan sebagai bahan untuk menciptakan bau wangi banyak dipakai di biara sebagai bagian dari upacara. Dalam Buddhis, pelita atau penerangan yang dinyalakan di altar Buddha di setiap cetya maupun biara mudah dijumpai di pelosok negeri. 

Selain daripada peradaban yang berdasarkan Mahayana, ada beberapa perilaku yang berdasarkan Buddhis secara umum antara lain tradisi berderma bagi biara atau biarawan, mendirikan stupa atau biara, upacara kremasi bagi yang meninggal dunia. 

Dari catatan I-Tsing tentang perkembangan Buddhis di Southern Sea, ia mengatakan bahkan hanya Mulasarvastivadin yang berkembang di daerah seperti Sribhoga (Sumatera), Mo-lo-yu (Melayu), P'o-li (Bali), Ho-ling (Kalinga), Tan-tan (kepulauan Natuna). I-Tsing juga mengatakan bahwa sistem Hinayana berkembang di negeri-negeri tersebut, kecuali Melayu (=Sribhoga). 
Penutup
Atisa mengatakan pada risalah di catatan Tibet, "Saya tidak membuat perbedaan di antara semua guru satu dengan guru lainnya akan tetapi karena kebaikan hati dari Mahaguruku dari Pulau Emas saya memperoleh (sejengkal kebaikan hati, bodhicitta) kedamaian batin, dan hati yang mengabdi".

Atisa menghabiskan selama 12 tahun di Sumatera yang akhirnya membawa Atisa menjadi seorang guru besar filosofis Mahayana dan Logika yang tersohor. Tak diragukan lagi bahwa Dharmakirtilah yang membuat Atisa menjadi seorang pandita besar.
http://www.kadamchoeling.or.id


Minggu, 11 Januari 2009

Menelisik Misteri Sabdo Palon

Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan ini akhirnya dapat dirunut secara logika historis.

Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata Sabdo Palon Noyo Genggong sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo (1135 – 1157) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

164.
…; mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.
(…; menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tritunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong)

173.
nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.
(menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi)

Serat Darmagandhul
Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan netralitas yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari saya kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.

Dalam serat Dharmagandhul ini saya hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan penting pada pertemuan antara Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di Blambangan. Pertemuan ini terjadi ketika Sunan Kalijaga mencari dan menemukan Prabu Brawijaya yang tengah lari ke Blambangan untuk meminta bantuan bala tentara dari kerajaan di Bali dan Cina untuk memukul balik serangan putranya, Raden Patah yang telah menghancurkan Majapahit. Namun hal ini bisa dicegah oleh Sunan Kalijaga dan akhirnya Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Karena Sabdo Palon tidak bersedia masuk agama Islam atas ajakan Prabu Brawijaya, maka mereka berpisah. Sebelum perpisahan terjadi ada baiknya kita cermati ucapan-ucapan berikut ini :

Sabdo Palon :
“Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cabluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang jasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”
(“Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip/aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya (Semar) itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”)

Ucapan Sabdo Palon ini menyatakan bahwa dia sangat malu kepada bumi dan langit dengan keputusan Prabu Brawijaya masuk agama Islam. Gambaran ini telah diungkapkan Joyoboyo pada bait 173 yang berbunyi :
“…, hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; …”
(“…, itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; …”). Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai “Manik Maya” atau “Semar”.

“Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”
(“ Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”)

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya. Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :

Sabdapalon ature sêndhu: “Kula niki Ratu Dhang Hyang sing rumêksa tanah Jawa. Sintên ingkang jumênêng Nata, dados momongan kula. Wiwit saking lêluhur paduka rumiyin, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrêm lan Bambang Sakri, run-tumurun ngantos dumugi sapriki, kula momong pikukuh lajêr Jawi, …..
….., dumugi sapriki umur-kula sampun 2.000 langkung 3 taun, momong lajêr Jawi, botên wontên ingkang ewah agamanipun, …..”
(Sabdo Palon berkata sedih: “Hamba ini Ratu Dhang Hyang yang menjaga tanah Jawa. Siapa yang bertahta, menjadi asuhan hamba. Mulai dari leluhur paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang Sakri, turun temurun sampai sekarang, hamba mengasuh keturunan raja-raja Jawa, …..
….., sampai sekarang ini usia hamba sudah 2.000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada yang berubah agamanya, …..”)

Ungkapan di atas menyatakan bahwa Sabdo Palon (Semar) telah ada di bumi Nusantara ini bahkan 525 tahun sebelum masehi jika dihitung dari berakhirnya kekuasaan Prabu Brawijaya pada tahun 1478. Saat ini di tahun 2007, berarti usia Sabdo Palon telah mencapai 2.532 tahun. Setidaknya perhitungan usia tersebut dapat memberikan gambaran kepada kita, walaupun angka-angka yang menunjuk masa di dalam wasiat leluhur sangat toleransif sifatnya. Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa “suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mencolo putro, mencolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.

Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :

“…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”
(“…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon? Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”)

Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti. Jadi Semar merupakan pamomong yang “tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa “perintah untuk melakukan” tetapi lebih kepada “bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada “tuan”nya. Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, dan lain-lain.

Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya. Berikut ungkapan-ungkapan itu :

“….. Paduka yêktos, manawi sampun santun agami Islam, nilar agami Buddha, turun paduka tamtu apês, Jawi kantun jawan, Jawinipun ical, rêmên nunut bangsa sanes. Benjing tamtu dipunprentah dening tiyang Jawi ingkang mangrêti.”
(“….. Paduka perlu faham, jika sudah berganti agama Islam, meninggalkan agama Budha, keturunan Paduka akan celaka, Jawi (orang Jawa yang memahami kawruh Jawa) tinggal Jawan (kehilangan jati diri jawa-nya), Jawi-nya hilang, suka ikut-ikutan bangsa lain. Suatu saat tentu akan dipimpin oleh orang Jawa (Jawi) yang mengerti.”

“….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”
(“….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”)

Dari dua ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Juga dikatakan bahwa ada saat nanti datang orang Jawa asuhan Sabdo Palon yang memakai nama sepuh/tua (bisa jadi “mbah”, “aki”, ataupun “eyang”) yang memegang teguh kawruh Jawa akan mengajarkan dan memaparkan kebenaran dan kesalahan dari peristiwa yang terjadi saat itu dan akibat-akibatnya dalam waktu berjalan. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita). Ibarat Arjuna dan Semar atau juga Prabu Parikesit dan Begawan Abhiyasa. Lebih lanjut diceritakan :

“Sang Prabu karsane arêp ngrangkul Sabdapalon lan Nayagenggong, nanging wong loro mau banjur musna. Sang Prabu ngungun sarta nênggak waspa, wusana banjur ngandika marang Sunan Kalijaga: “Ing besuk nagara Blambangan salina jênêng nagara Banyuwangi, dadiya têngêr Sabdapalon ênggone bali marang tanah Jawa anggawa momongane. Dene samêngko Sabdapalon isih nglimput aneng tanah sabrang.”
(“Sang Prabu berkeinginan merangkul Sabdo Palon dan Nayagenggong, namun orang dua itu kemudian raib. Sang Prabu heran dan bingung kemudian berkata kepada Sunan Kalijaga : “Gantilah nama Blambangan menjadi Banyuwangi, jadikan ini sebagai tanda kembalinya Sabda Palon di tanah Jawa membawa asuhannya. Sekarang ini Sabdo Palon masih berkelana di tanah seberang.”)

Dari kalimat ini jelas menandakan bahwa Sabdo Palon dan Prabu Brawijaya berpisah di tempat yang sekarang bernama Banyuwangi. Tanah seberang yang dimaksud tidak lain tidak bukan adalah Pulau Bali. Untuk mengetahui lebih lanjut guna menguak misteri ini, ada baiknya kita kaji sedikit tentang Ramalan Sabdo Palon berikut ini.

Ramalan Sabdo Palon
Karena Sabdo Palon tidak berkenan berganti agama Islam, maka dalam naskah Ramalan Sabdo Palon ini diungkapkan sabdanya sbb :

3.
Sabda Palon matur sugal, “Yen kawula boten arsi, Ngrasuka agama Islam, Wit kula puniki yekti, Ratuning Dang Hyang Jawi, Momong marang anak putu, Sagung kang para Nata, Kang jurneneng Tanah Jawi, Wus pinasthi sayekti kula pisahan.
(Sabda Palon menjawab kasar: “Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab saya ini raja serta pembesar Dang Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.)

4.
Klawan Paduka sang Nata, Wangsul maring sunya ruri, Mung kula matur petungna, Ing benjang sakpungkur mami, Yen wus prapta kang wanci, Jangkep gangsal atus tahun, Wit ing dinten punika, Kula gantos kang agami, Gama Buda kula sebar tanah Jawa.
(Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Budha lagi (maksudnya Kawruh Budi), saya sebar seluruh tanah Jawa.)

5.
Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.
(Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belum saya hancur leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.)

6.
Ngidul ngilen purugira, Ngganda banger ingkang warih, Nggih punika medal kula, Wus nyebar agama budi, Merapi janji mami, Anggereng jagad satuhu, Karsanireng Jawata, Sadaya gilir gumanti, Boten kenging kalamunta kaowahan.
(Lahar tersebut mengalir ke Barat Daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda (Kawruh Budi). Kelak Merapi akan bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.)

7.
Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.
(Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.)

8.
Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.
(Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.)

Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan berpisah dengan Prabu Brawijaya kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Lamanya pergi selama 500 tahun. Dan kemudian Sabdo Palon menyatakan janjinya akan datang kembali di bumi tanah Jawa (tataran nusantara) dengan tanda-tanda tertentu. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya. Itulah tanda Sabdo Palon telah datang. Dalam dunia pewayangan keadaan ini dilambangkan dengan judul: “Semar Ngejawantah”.

Mari kita renungkan sesaat tentang kejadian muntahnya lahar gunung Merapi tahun lalu dimana untuk pertama kalinya ditetapkan tingkat statusnya menjadi yang tertinggi : “Awas Merapi”. Saat kejadian malam itu lahar merapi keluar bergerak ke arah “Barat Daya”. Pada hari itu tanggal 13 Mei 2006 adalah malam bulan purnama bertepatan dengan Hari Raya Waisyak (Budha) dan Hari Raya Kuningan (Hindu). Secara hakekat nama “Sabdo Palon Noyo Genggong” adalah simbol dua satuan yang menyatu, yaitu : Hindu – Budha (Syiwa Budha). Di dalam Islam dua satuan ini dilambangkan dengan dua kalimat Syahadat. Apabila angka tanggal, bulan dan tahun dijumlahkan, maka : 1 + 3 + 5 + 2 + 6 = 17 ( 1 + 7 = 8 ). Angka 17 kita kenal merupakan angka keramat. 17 merupakan jumlah raka’at sholat lima waktu di dalam syari’at Islam. 17 juga merupakan lambang hakekat dari “bumi sap pitu” dan “langit sap pitu” yang berasal dari Yang Satu, Allah SWT. Sedangkan angka 8 merupakan lambang delapan penjuru mata angin. Di Bali hal ini dilambangkan dengan apa yang kita kenal dengan “Sad Kahyangan Jagad”. Artinya dalam kejadian ini delapan kekuatan dewa-dewa menyatu, menyambut dan menghantarkan Sang Hyang Ismoyo (Sabdo Palon) untuk turun ke bumi. Di dalam kawruh Jawa, Sang Hyang Ismoyo adalah sosok dewa yang dihormati oleh seluruh dewa-dewa. Dan gunung Merapi di sini melambangkan hakekat tempat atau sarana turunnya dewa ke bumi (menitis).

SIAPA SEJATINYA “SABDO PALON NOYO GENGGONG” ?

Setelah kita membaca dan memahami secara keseluruhan wasiat-wasiat leluhur Nusantara yang ada di blog ini, maka telah sampai saatnya saya akan mengulas sesuai dengan pemahaman saya tentang siapa sejatinya Sabdo Palon Noyo Genggong itu. Dari penuturan bapak Tri Budi Marhaen Darmawan, saya mendapatkan jawaban : “Sabdo Palon adalah seorang ponokawan Prabu Brawijaya, penasehat spiritual dan pandhita sakti kerajaan Majapahit. Dari penelusuran secara spiritual, Sabdo Palon itu sejatinya adalah beliau : Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru yang akhirnya moksa di Pura Uluwatu.” (merinding juga saya mendengar nama ini)

Dari referensi yang saya dapatkan, Dang Hyang Nirartha adalah anak dari Dang Hyang Asmaranatha, dan cucu dari Mpu Tantular atau Dang Hyang Angsokanatha (penyusun Kakawin Sutasoma dimana di dalamnya tercantum “Bhinneka Tunggal Ika”). Danghyang Nirartha adalah seorang pendeta Budha yang kemudian beralih menjadi pendeta Syiwa. Beliau juga diberi nama Mpu Dwijendra dan dijuluki Pedanda Sakti Wawu Rawuh, beliau juga dikenal sebagai seorang sastrawan. Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut :
“Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra. Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma Yatra”. Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.”

Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam “Pagunungan Anyar”). Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.

Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat adalah : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Ulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dan lain-lain. Akhirnya Dang Hyang Nirartha menghilang gaib (moksa) di Pura Uluwatu. (Moksa = bersatunya atman dengan Brahman/Sang Hyang Widhi Wasa, meninggal dunia tanpa meninggalkan jasad).

Setelah mengungkapkan bahwa Sabdo Palon sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha, lalu bapak Tri Budi Marhaen Darmawan memberikan kepada saya 10 (sepuluh) pesan dari beliau Dang Hyang Nirartha sbb:
Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal. ( bait 5 )
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya. ( bait 6 )
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak. ( bait 8 )
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat. ( bait 10 )
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya. ( bait 11 )
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang. ( bait 12 )
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang. ( bait 13 )
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang. ( bait 14 )
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah. ( bait 15 )
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.

Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan : “Jadi yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru. Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah terjadi dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab persoalan ini. Sangat sensitif… Ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskitho, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Tidak perlu banyak perdebatan, karena Sabdo Palon yang telah menitis kepada “seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo. Secara fisik “seseorang” itu ditandai dengan memegang sepasang pusaka Pengayom Nusantara hasil karya beliau Dang Hyang Nirartha.”

“Kesimpulan akhirnya adalah : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur Nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu beliau yang dinamakan “SATRIO PININGIT”. Jadi, Satrio Piningit (SP) = adalah seorang Satrio Pinandhito (SP) = yaitulah Sabdo Palon (SP) = sebagai Sang Pamomong (SP) = dikenal juga dengan nama Semar Ponokawan (SP) = pemegang pusaka Sabdo Palon (SP) = berada di “SP” (?) = tepatnya di daerah “SP” (?) = dimana terdapat “SP” (?) = dengan nama “SP” dan “SP” (?) . Satrio Piningit tidak akan sekedar mengaku-aku bahwa dirinya adalah seorang Satrio Piningit. Namun beliau akan “membuktikan” banyak hal yang sangat fenomenal untuk kemaslahatan rakyat negeri ini. Kapan waktunya ? Hanya Allah SWT yang tahu. Subhanallah… Masya Allah la quwata illa billah…”

Dari apa yang telah saya ungkapkan sejauh ini mudah-mudahan membawa banyak manfaat bagi kita semua, terutama hikmah yang tersirat dari wasiat-wasiat nenek moyang kita, para leluhur Nusantara. Menjadi harapan kita bersama di tengah carut-marut keadaan negeri ini akan datang cahaya terang di depan kita. Semoga Allah ridho.

JAYALAH NEGERIKU,
TEGAKLAH GARUDAKU,
JAYALAH NUSANTARAKU…

(nurahmad)


diambil dari : http://nurahmad.wordpress.com

Ramalan Sabdo Palon (jawa)

Sinom :

Pada sira ngelingana,
Carita ing nguni-nguni,
Kang kocap ing serat babad,
Babad nagri Mojopahit,
Nalika duking nguni,
Sang-a Brawijaya Prabu,
Pan samya pepanggihan,
Kaliyan Njeng Sunan Kali,
Sabda Palon Naya Genggong rencangira.

Sang-a Prabu Brawijaya,
Sabdanira arum manis,
Nuntun dhateng punakawan,
“Sabda palon paran karsi”,
Jenengsun sapuniki,
Wus ngrasuk agama Rosul,
Heh ta kakang manira,
Meluwa agama suci,
Luwih becik iki agama kang mulya.

Sabda Palon matur sugal,
“Yen kawula boten arsi,
Ngrasuka agama Islam,
Wit kula puniki yekti,
Ratuning Dang Hyang Jawi,
Momong marang anak putu,
Sagung kang para Nata,
Kang jurneneng Tanah Jawi,
Wus pinasthi sayekti kula pisahan.

Klawan Paduka sang Nata,
Wangsul maring sunya ruri,
Mung kula matur petungna,
Ing benjang sakpungkur mami,
Yen wus prapta kang wanci,
Jangkep gangsal atus tahun,
Wit ing dinten punika,
Kula gantos kang agami,
Gama Buda kula sebar tanah Jawa.

Sinten tan purun nganggeya,
Yekti kula rusak sami,
Sun sajekken putu kula,
Berkasakan rupi-rupi,
Dereng lega kang ati,
Yen durung lebur atempur,
Kula damel pratandha,
Pratandha tembayan mami,
Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar.

Ngidul ngilen purugira,
Ngganda banger ingkang warih,
Nggih punika medal kula,
Wus nyebar agama budi,
Merapi janji mami,
Anggereng jagad satuhu,
Karsanireng Jawata,
Sadaya gilir gumanti,
Boten kenging kalamunta kaowahan.

Sanget-sangeting sangsara,
Kang tuwuh ing tanah Jawi,
Sinengkalan tahunira,
Lawon Sapta Ngesthi Aji,
Upami nyabrang kali,
Prapteng tengah-tengahipun,
Kaline banjir bandhang,
Jerone ngelebne jalmi,
Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Bebaya ingkang tumeka,
Warata sa Tanah Jawi,
Ginawe kang paring gesang,
Tan kenging dipun singgahi,
Wit ing donya puniki,
Wonten ing sakwasanipun,
Sedaya pra Jawata,
Kinarya amertandhani,
Jagad iki yekti ana kang akarya.

Warna-warna kang bebaya,
Angrusaken Tanah Jawi,
Sagung tiyang nambut karya,
Pamedal boten nyekapi,
Priyayi keh beranti,
Sudagar tuna sadarum,
Wong glidhik ora mingsra,
Wong tani ora nyukupi,
Pametune akeh sirna aneng wana.

Bumi ilang berkatira,
Ama kathah kang ndhatengi,
Kayu kathah ingkang ilang,
Cinolong dening sujanmi,
Pan risaknya nglangkungi,
Karana rebut rinebut,
Risak tataning janma,
Yen dalu grimis keh maling,
Yen rina-wa kathah tetiyang ambegal.

Heru hara sakeh janma,
Rebutan ngupaya bukti,
Tan ngetang anggering praja,
Tan tahan perihing ati,
Katungka praptaneki,
Pageblug ingkang linangkung,
Lelara ngambra-ambra,
Waradin saktanah Jawi,
Enjing sakit sorenya sampun pralaya,

Kesandung wohing pralaya,
Kaselak banjir ngemasi,
Udan barat salah mangsa,
Angin gung anggegirisi,
Kayu gung brasta sami,
Tinempuhing angin agung,
Kathah rebah amblasah,
Lepen-lepen samya banjir,
Lamun tinon pan kados samodra bena.

Alun minggah ing daratan,
Karya rusak tepis wiring,
Kang dumunung kering kanan,
Kajeng akeh ingkang keli,
Kang tumuwuh apinggir,
Samya kentir trusing laut,
Seia geng sami brasta,
Kabalebeg katut keli,
Gumalundhung gumludhug suwaranira.

Hardi agung-agung samya,
Huru-hara nggegirisi,
Gumleger suwaranira,
Lahar wutah kanan kering,
Ambleber angelebi,
Nrajang wana lan desagung,
Manungsanya keh brasta,
Kebo sapi samya gusis,
Sirna gempang tan wonten mangga puliha.

Lindu ping pitu sedina,
Karya sisahing sujanmi,
Sitinipun samya nela,
Brekasakan kang ngelesi,
Anyeret sagung janmi,
Manungsa pating galuruh,
Kathah kang nandhang roga,
Warna-warna ingkang sakit,
Awis waras akeh kang prapteng pralaya.”

Sabda Palon nulya mukswa,
Sakedhap boten kaeksi,
Wangsul ing jaman limunan,
Langkung ngungun Sri Bupati,
Njegreg tan bisa angling,
Ing manah langkung gegetun,
Keduwung lepatira,
Mupus karsaning Dewadi,
Kodrat iku sayekti tan kena owah.



1.Ingatlah kepada kisah lama yang ditulis di dalam buku babad tentang negara
Mojopahit. Waktu itu Sang Prabu Brawijaya mengadakan pertemuan dengan Sunan
Kalijaga didampingi oleh Punakawannya yang bernama Sabda Palon Naya
Genggong.

2.Prabu Brawijaya berkata lemah lembut kepada punakawannya: "Sabda-Palon
sekarang saya sudah menjadi Islam. Bagaimanakah kamu? Lebih baik ikut Islam
sekali, sebuah agama suci dan baik."

3.Sabda Palon menjawab kasar: "Hamba tak mau masuk Islam Sang Prabu, sebab
saya ini raja serta pembesar Dah Hyang se tanah Jawa. Saya ini yang membantu
anak cucu serta para raja di tanah jawa. Sudah digaris kita harus berpisah.

4.Berpisah dengan Sang Prabu kembali ke asal mula saya. Namun Sang Prabu kami
mohon dicatat. Kelak setelah 500 tahun saya akan mengganti agama Buda lagi,
saya sebar seluruh tanah Jawa.

5.Bila ada yang tidak mau memakai, akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin
setan dan lain-lainnya. Belum legalah hati saya bila belu saya hancur
leburkan. Saya akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila
kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya.

6.Lahar tersebut mengalir ke barat daya. Baunya tidak sedap. Itulah pertanda
kalau saya datang. Sudah mulai menyebarkan agama Buda. Kelak Merapi akan
bergelegar. Itu sudah menjadi takdir Hyang Widi bahwa segalanya harus
bergantian. Tidak dapat bila diubah lagi.

7.Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta
Ngesthi Aji. Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di
tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan
manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

8.Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan
tidak mungkin disingkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut
sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

9.Bermacam-macam bahaya yang membuat tanah Jawa rusak. Orang yang bekerja
hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak yang susah hatinya. Saudagar
selalu menderita rugi. Orang bekerja hasilnya tidak seberapa. Orang tanipun
demikian juga. Penghasilannya banyak yang hilang di hutan.

10.Bumi sudah berkurang hasilnya. Banyak hama yang menyerang. Kayupun banyak
yang hilang dicuri. Timbullah kerusakan hebat sebab orang berebutan.
Benar-benar rusak moral manusia. Bila hujan gerimis banyak maling tapi siang
hari banyak begal.

11.Manusia bingung dengan sendirinya sebab rebutan mencari makan. Mereka tidak
mengingat aturan negara sebab tidak tahan menahan keroncongannya perut. Hal
tersebut berjalan disusul datangnya musibah pagebluk yang luar biasa.
Penyakit tersebar merata di tanah Jawa. Bagaikan pagi sakit sorenya telah
meninggal dunia.

12.Bahaya penyakit luar biasa. Di sana-sini banyak orang mati. Hujan tidak
tepat waktunya. Angin besar menerjang sehingga pohon-pohon roboh semuanya.
Sungai meluap banjir sehingga bila dilihat persis lautan pasang.

13.Seperti lautan meluap airnya naik ke daratan. Merusakkan kanan kiri.
Kayu-kayu banyak yang hanyut. Yang hidup di pinggir sungai terbawa sampai ke
laut. Batu-batu besarpun terhanyut dengan gemuruh suaranya.

14.Gunung-gunung besar bergelegar menakutkan. Lahar meluap ke kanan serta ke
kiri sehingga menghancurkan desa dan hutan. Manusia banyak yang meninggal
sedangkan kerbau dan sapi habis sama sekali. Hancur lebur tidak ada yang
tertinggal sedikitpun.

15.Gempa bumi tujuh kali sehari, sehingga membuat susahnya manusia. Tanahpun
menganga. Muncullah brekasakan yang menyeret manusia ke dalam tanah.
Manusia-manusia mengaduh di sana-sini, banyak yang sakit. Penyakitpun
rupa-rupa. Banyak yang tidak dapat sembuh. Kebanyakan mereka meninggal
dunia.

16.Demikianlah kata-kata Sabda Palon yang segea menghilang sebentar tidak
tampak lagi diriya. Kembali ke alamnya. Prabu Brawijaya tertegun sejenak.
Sama sekali tidak dapat berbicara. Hatinya kecewa sekali dan merasa salah.
Namun bagaimana lagi, segala itu sudah menjadi kodrat yang tidak mungkin
diubahnya lagi.