Sabtu, 28 November 2009

Pendidikan Kesusilaan Cara Hindu Untuk Anak Usia Dini

Pendidikan Kesusilaan Cara Hindu, Untuk Anak Usia Dini

Bali Post – Minggu, 12 Oktober 2008.

PENDIDIKAN merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan keluarga adalah pendidikan pertama dan utama. Bagaimana halnya dengan pendidikan kesusilaan dalam ajaran agama Hindu pada anak usia dini?

Menurut Anthur T. Jersild, yang dimaksud anak usia dini adalah anak-anak yang belum memasuki bangku sekolah, berumur 2-5 tahun. Sedangkan menurut Aristoteles, anak berumur 0-7 tahun disebut masa anak-anak bermain. Anak perlu dituntun perilakunya dengan ajaran-ajaran kesusilaan. Yang perlu ditanamkan kepada mereka antara lain perihal agama, perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, tat twam asi, tri kaya parisuda, catur paramita, dan catur guru bakti.

Agama merupakan landasan kesusilaan yang kokoh dan kuat. Agama diibaratkan rambu-rambu lalu lintas yang dapat menentukan manusia mencapaitujuan, sebagaimana tercantum dalam Sarasamuscaya. Ajaran-ajaran agama memberikan sanksi-sanksi hukuman yang bersifat niskala atas perbuatannya yang ditentukan Tuhan.

Beri Teladan
Pendidikan agama pada mas anak-anak antara lain pembentukan kebiasaan, teladan dan nasihat, anjuran pujian, serta larangan dan hukuman. Pembentukan kebiasaan bagi seorang anak Sebaiknya dilakukan pada waktu Ia masih kecil, mulai dan rumah tangga. Misalnya membiasakan anak melaksanakan yadnya sesa menghaturkan hidangan kecil setelah selesai memasak, berdoa sebelum makan, mendahulukan makan pada yang lebih tua, minta izin kalau pergi keluar rumah, dan mengucapkan termia kasih kalau ada orang yang memberi sesuatu, dan lain-lain.

Dalam hubungan ini, orangtua terlebih dahulu harus mengenal dirinya dan memberi teladan yang baik pada anak-anaknya tentang ajaran-ajaran kesusilaan. Teladan adalah daya upaya siasat yang cocok karena anak kecil dapat meniru orang-orang di sekitarnya. Anak punya dorongan kuat untui meniru perbuatan-perbuatan orang dewasa atau orang sekitarnya, apalagi hal-hal yang disukainya.

Sejak kecil anak harus dianjurkan melakukan hal-hal yang baik dan menjauhkan hal-hal yang buruk. Jika anjuran itu dituruti, berikanlah pujian dengan kata-kata yang menyenangkan hati anak. Perlu diingat pujian-pujian atau ganjaran tidak menjadi tujuan untuk melakukan perbuatan yang baik.

Orangtua perlu menerapkan larangan dan hukuman. Larangan artinya tidak boleh dilakukan kalau bertentangan dengan norma-norma kesusilaan. Larangan harus bersifat mendidik, sehingga anak tidak kehilangan kepercayaan. Jika larangan tidak diindahkan anak, maka jalan satu-satunya dipergunakan hukuman Sebagai alternatif terakhir. Namum jangan memberikan hukuman badaniah, misalnya menampar atau memukul bagian yang peka terutama kepala. Dalam ajaran Hindu, bagian dan kepala (ubun-ubun) merupakan pintu keluar masuknya Siwa.

Lewat Cerita
Pada umumnya, perbuatan yang baik pada dasarnya baik akan tetap baik, demikian pula perbuatan yang buruk akan tetap buruk. Agar anak cepat mengerti perihal perbuatan baik dan buruk, benar dan salah, maka langkah yang cocok dilakukan adalah dengan cara bercerita. Cerita yang mengandung unsur baik dan buruk, benar dan salah. Ini akan lebih mudah dipahami anak. Cerita itu misalnya tentang burung bangau yang mati oleh ketam. atau Rahwana yang mati dibunuh Rama. Intisari yang dapat dipetik dari cerita ini barang siapa berbuat jahat akan mendapat susah yang berakhir juga dengan maut (kematian).

Dalam mendidik anak seputar kesusilaan, ajarkan mereka tentang pemahaman tat twam asi — “itu (ia) adalah kamu”. Penyampaian perihal ini bisa disampaikan lewat carita juga. Misalnya cerita gagak dan ular mati karena ketam. Makna cerita ini, barang siapa yang berhutang budi dan dikasihani hendaknya membalas budi dengan sebaik-baiknya.

Ada juga ajaran tri kaya parisuda, tiga dasar perilaku manusia yang harus disucikan yaitu manacika (berpikir), wacika (berkata), dan kayika (bertingkah laku/berbuat). Dari tri kaya parisuda timbullah 10 pengendalian diri : tidak menginginkan milik orang lain, tidak marah sesama teman, percaya akan kebenaran karmaphala. tidak berkata jahat, tidak berkata kasar, tidak memfitnah, tidak berkata bohong, tidak membunuh atau menyiksa mahluk, tidak mencuri, dan tidak berzinah.

Dengan adanya pemikiran yang baik akan mewujudkan perkataan yang baik, sehingga akan mewujudkan perbuatan baik pula. Pupuklah keserasian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan yang baik sebagai dasar perilaku anak.

Terapkan pula pemahaman catur paramita atau empat jalan kesempurnaan dan utama untuk mencapai tujuan. Di sini ada maitri itu sikap suka menolong sesama mahluk, karuna atau belas kasihan sesama manusia, mudita yakni berbuat yang menyenangkan perasaan orang lain, dan upeksa sebagai bentuk suka menghargai orang lain, sebagaimana menghargai dirinya sendiñ). Agar anak meresapi pemahaman ini, ambil suatu contoh dalam sikap atau tingkah laku sehari-hari. Jika ada pengemis datang ke rumah untuk meminta sedekah, ajarkan anak “memberi” pada pengemis itu.

Ajarkan juga pada anak tentang catur guru — empat guru yang harus dihormati dalam usaha mencari kesucian dan kesempurnaan hidup.

Ada guru rupaka,bapak dan ibu yang telah melahirkan serta mengasuh dengan penuh rasa kasth sayang. Ada guru pengajian, guru di sekolah, yang memberikan ilmu pengetahuan, pendidik danpengajar. Ada guru wisesa pemerintah, pengayom dan pelindung bagi masyarakat, agar masyarakat hidup tenang, tentram, aman danbahagia. Terakhir, ada guru swadhyaya, Ida Sang Hyang Widhi, segala yang ada di dunia ini adalah bersumber pada Sang Hyang Widhi dan akhirnya akan kembali kepadaNya.

Contoh Sehari-hari
Peranan orangtua dalam pendidikan kesusilaan untuk anak usia dini sangat penting. Dalam hal menjamin kesuburan perkembangan pembentukan budi pekerti pada anak, orangtua harus berusaha mengupayakan agar anaknya kelak di kemudian hari jika orangtua sudah lanjut usia — dapat diharapkan melanjutkan suadharma-nya.

Orangtua harus mewujudkan sifat kasih sayang yang wajar sebagai teladan yang baik. Ingat, pengalaman pertama yang didapat anak adalah melalui orangtuanya. ini akan jadi kesan dalam hidupnya, apakah kesan baik atau buruk

Tergantung dari orangtua mereka. Satu contoh, kerukunan orangtua dalam keluarga merupakan syarat mutlak dalam pembinaan jiwa anak ke arah budi pekerti yang luhur. Keharmonisan akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anak di keluarga. Anak-anak akan mudah memahami sifat-sifat dengan pengalaman langsung melalui contoh-contoh dan orang tuanya dalam kehidupan sehari-hari.

oleh :
I Nengah Konten,
Guru SDN 2 Tiyingtali, Abang, Karangasem.

Etika-Ahimsā Dalam Hindu Dan Islam

Oleh: Yudhis Muh. Burhanuddin*)


ETIKA sudah dikenal sejak zaman Sokrates[1]. Etika adalah sebentuk gagasan yang merumuskan tentang kelaziman tertentu yang seharusnya dilakoni oleh manusia dalam hidupnya. Dengan kata lain, etika, sebagai cabang filsafat, membicarakan soal-soal praktis hidup. Menurut Richard Lindsay, ada dua bentuk pertanyaan etika: 1). bagaimana seharusnya manusia berperilaku?; 2). apakah ada kebenaran obyektif moralitas?[2]

Dua pertanyaan di atas menyangkut dua bentuk etika, yaitu etika normatif dan meta-etika. Ada banyak macam etika yang kini semakin spesifik di bagai disiplin ilmu, misalnya etika kedokteran, etika bisnis, dsb. Agama pun demikian. Agama, yang memiliki sistem etika sendiri, menjawab sekaligus dua pertanyaan Lindsay di atas. Etika agama juga bersifat praktis. Kebenaran obyektif etika agama terletak pada reward and punishment-nya. Salah satu etika praktis agama adalah Ahimsā atau Nir-Kekerasan (non-violence). Pembahasan di bawah ini adalah perbandingan etika Ahimsā dari perspektif Hindu (sebagai ajaran partikular Hindu) dan Islam.

Perspektif Hindu

ETIKA-AHIMSĀ menurut Hindu adalah doktrin Tidak-Melukai (non-injury) makhluk hidup. Doktrin ini sudah sangat lawas dan tersebar, secara eksplisit maupun implisit, di dalam teks-teks suci Hindu (baik Sruti maupun Smrti)[3]. Misalnya sloka suci smrti di bawah ini.

Bila orang itu sayang akan hidupnya, apa sebabnya ia itu ingin memusnahkan hidup makhluk lain; hal itu sekali-kali tidak memakai ukuran diri sendiri, segala sesuatu yang akan dapat menyenangkan kepada dirinya, mestinya itulah seharusnya dicita-citakannya

terhadap makhluk lain. (Sarasamusccaya, sloka: 136)[4]

Akan tetapi orang yang keadaannya begini, menitis lahir menjadi manusia pada orang yang bernoda, berpenyakitan, berkelakuan jahat, bertabiat menyakiti (membunuh), pendek umurlah diperoleh oleg orang yang berkeadaan demikian, hal ini adalah akibat perbuatannya bengis dulu pada waktu penjelmaannya sebelum ini (yang lampau).

(Sarasamusccaya, sloka: 148)[5]

T.W. Rhys Davids berpendapat bahwa ahimsā secara mistis terdapat di dalam kitab sruti Chāndogya Upanisad (3,7)[6]. Sedangkan menurut John McKenzie, ahimsā lebih unik di tangan Gautama dan Mahāvīra[7] dan menjadi National Character, misalnya di tangan Mahatma Gandhi[8]. Memang ahimsā dalam pandangan Gandhi, seperti kata Francis Alapatt, “lebih dari sekadar ungkapan…, yang lebih menekankan aspek ‘tidak’ atau penegasian, dan tidak jarang pula ahimsā dimaknai secara negatif[9].” Memang secara praktis, etika-ahimsā dilaksanakan dengan cara tidak-memakan-daging—“vegetarianisme”. Karena menurut Maharshi Manu, “there is no greater sinner than that man who, though not worshipping the gods or manes, seeks to increase the bulk of his own flesh by the flesh of other beings.” Akan tetapi, menurut beliau lagi, ada pengecualian selama, “He who eats meat, when he honours the gods and manes, commits no sin, whether he has bought it, or himself has killed the animal, or has received it as a present from others[10].”

Terlepas dari bagian praktis vegetarianisme di atas, ahimsā adalah salah satu dari lima unsur pengendalian diri (Panca Yama Brata)[11]. Menurut hemat penulis, etika-ahimsā lebih dari sekadar vegetarianisme. Etika-Ahimsā seyogyanya dimulai dari pikiran (manacika), kemudian ke wicara (wacika), dan akhirnya laku (kayika) atau Tri Kaya Parisuda[12]. Menurut Svami Vivekananda manusia terdiri atas manas (pikiran), buddhi (laku), dan atman (ruh)[13]. Di samping itu, di dalam diri manusia juga ada sifat Rajas dan Tamas yang juga mesti diseimbangkan agar tercapai Satvass atau Satwika. Karena ahimsā adalah pertimbangan etis non-kekerasan dan damai, maka pertama-tama ia dimulai dari ketiga unsur pembentuk kedirian manusia ini. Bagaimanapun juga, makna ahimsā akan kabur jika misalnya, perut sudah tidak terisi daging tetapi perkataan, tingkah laku dan pikiran kita masih terpengaruh oleh sifat-sifat ke-daging-an (hewani). Bahwa ahimsā seharusnya terimplementasi ke dalam Tri Kaya Parisuda dan atau Sukma, afirmasi ini bisa kita lihat di dalam sloka-sloka suci Hindu. Misalnya a.l: dalam Yajur Weda, XXI.61, Tuhan berkata, “Tuhan menciptakan manusia untuk berbicara lemah-lembut dan santun”[14]. Sloka sebelumnya (Yajur Weda, XIX.29), Tuhan berjanji, “Orang-orang yang ramah dan lemah-lembut dalam ucapannya akan memperoleh karunia-Nya”[15]. Dalam Rig Weda, X.19.4, Dia berseru kepada kita semua, “Wahai umat manusia, satukanlah pikiranmu untuk mencapai satu tujuan dan satukanlah hatimu, satukan pikiranmu dengan sesama dan semuanya tinggal dalam pergaulan yang harmonis”[16]. Dan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.20, Tuhan mengingatkan kita, “Mereka yang kejam dan pembenci, adalah manusia paling hina di dunia ini, yang Aku campakkan berkali-kali ke dalam kandungan raksasa”[17]. Sloka lain misalnya:

Ā cireņa parasya bhūyasīm, wiraparītām wigaņayya cātmanah, kşayayuktimupekşate ŗtī,kurute tatpratikāramanyathā[18].”

(Orang budiman yang telah mendalami pengetahuannya tentang dharma akan tidak menghiraukan segala usaha-usaha jahat dan tipu muslihat musuhnya untuk menjatuhkan dirinya. Jika tidak berbudi, ia pasti akan membalas dendam)

Sloka smrti di atas mengafirmasi kualitas dharma dan efeknya kepada Tri Kaya Parisuda. Sebetulnya ada ribuan sloka suci Hindu yang mengafirmasikan nilai-nilai ahimsā dan atau kedamaian. Cukuplah kiranya jika sloka yang dikutip di atas sebagai representasi konteks tulisan ini. Empat sloka suci di atas menegaskan bahwa hakikat ber-ahimsā adalah mengelola Tri Kaya Parisuda atau Sukma agar manusia senantiasa lebih manusiawi[19] agar mencapai “moksartham jagaddhitaya ca iti dharma”—dengan dharma menggapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat[20]. Terakhir, pintu masuk pengelolaan ketiga unsur penting manusia ini adalah pengendalian Sad Ripu—enam “musuh” dalam diri manusa[21].

Perspektif Islam

MENCARI kata ahimsā dalam Islam tentu tidak ditemukan. Akan tetapi, mencari makna ahimsā tentu ada. Islam secara etimologis berarti “kedamaian” atau “damai di luar dan di dalam”[22]. Nabi Muhammad SAW (Shallalahu ‘Alaihi Wa Sallam) datang untuk kedamaian. Di dalam Al-Qur’an Tuhan (dalam Islam disebut Allah) menegaskannya, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau Muhammad kecuali untuk kedamaian bagi semesta[23].” Begitu juga, Nabi Muhammad sendiri menyerukan umatnya, “Hendaklah kalian berakhlaq mulia, karena sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk itu[24].” Islam adalah salah satu “jalan” menuju kampung keselamatan dan kedamaian, di samping jalan-jalan (baca: agama) yang lain.

Etika-Ahimsā yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad SAW adalah pada peristiwa “Fathul Makkah” (the opened Mecca) yang banyak ditemukan di dalam literatur-literatur Islam. Saat Fathul Makkah, dengan tegas Nabi Muhammad SAW berkata kepada semua masyarakat Makkah bahwa, “Yang masuk ke dalam Ka’bah, selamat, dan yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan pun, selamat.” Kata ‘Ka’bah’ dan ‘rumah Abu Sufyan’ dalam konteks ini adalah simbol ahimsā. Karena walaupun Muhammad dan pengikutnya waktu itu berpotensi untuk membalas dendam atas perlakuan kasar, intimidasi, bahkan pembunuhan orang-orang Makkah selama bertahun-tahun atas diri beliau, keluarga dan pengikutnya, akan tetapi, beliau sama sekali tidak melakukannya. Sebaliknya, dia memilih damai, etika ahimsā. Dalam bahasa modernnya, “we forgive because we cannot forget[25].” Kisah-kisah sejarah seperti ini, baik tentang diri beliau maupun sahabat-sahabatnya, tersebar di dalam literatur-literatur Islam, entah itu ditulis oleh sejarawan Islam sendiri, sejarawan Kristen, seperti William E. Phipps dan Philip K. Hitti, maupun yang ditulis oleh orientalist, seperti W. Montgomery Watt.

Murthadha Muthahari dan Said Hawwa dalam buku mereka memberi contoh Etika-Ahimsā Islam. Memaafkan, membalas budi, dan menyayangi binatang, termasuk anjing, demikian menurut Muthahhari, adalah perbuatan ksatri yang nilainya lebih tinggi dari perbuatan (baik) biasa[26]. Nabi Muhammad, seperti yang dikutip Muthahhari, menyampaikan kepada sepupunya ‘Ali Bin Abi Thalib, tiga hal yang nilainya sangat tinggi. Yang pertama ialah memberi kepada siapa saja yang meminta; kedua, menyambung tali persaudaraan; dan yang ketiga, memaafkan orang yang mendzalimi (berbuat jahat kepada) kita[27]. Tuhan di dalam Al-Qur’an menegaskan bahwa, membunuh satu orang saja, nilainya sama dengan membunuh semua manusia yang ada di muka bumi ini. Begitu juga dengan, menyelamatkan satu orang saja, nilainya sama dengan menyelamatkan semua manusia[28]. Dengan terang dan jelas, ayat ini menegaskan Etika Ahimsā dengan perumpamaan, betapa membunuh tanpa sebab yang jelas adalah perbuatan yang terkutuk dan betapa sebaliknya adalah perbuatan yang sangat mulia. Ayat ini sama dengan konteks Bhagawadgita, XVI.20 yang sudah dikutip di atas.

Etika-Ahimsā dalam Islam bersifat implisit[29]. Seperti sekelumit contoh di atas, pesan itu tersebar di dalam Qur’an, teks-teks hadits, dan teladan Nabi Muhammad. Setiap Muslim diharapkan bersikap santun sebagaimana teladan Nabi. Di samping itu, setiap Muslim hendaknya merefleksikan sifat-sifat Tuhan: Pengasih, Penyayang Dan Pemaaf. “Forgiveness,” demikian tulis Chawkat Moucarry, “is a divine promise that reflects who God is.[30]” Lebih lanjut kata Chawkat, “Islamic teachings urges Muslim to seek God’s forgiveness and to forgive those who have wronged them[31].” Apa yang ditulis oleh Chawkat Moucarry ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, adalah teldadan Nabi Muhammad SAW seperti yang beliau katakan kepada ‘Ali Bin Abi Thalib—Khalifah IV. Jalan menuju ahimsā menurut Islam adalah pertama-tama dengan mengendalikan hawa nafsu. Nabi Muhammad menegaskan bahwa ‘Jihad’[32] terbesar adalah menaklukkan al-nafs. Marcel A. Boisard mengulang kembali perkataan Muhammad ini[33]. Al-Nafs[34] atau hawa nafsu (Sad Ripu dalam konteks Hindu) adalah musuh di dalam diri manusia. Pengendalian Nafs, sebagai awal Etika-Ahimsā, pertama-tama dengan berpuasa—puasa adalah medium tapa brata.

Etika Ahimsā Sekuler (catatan tambahan)

ADA tiga mazhab besar Filsafat Etika Barat. Yang pertama Hedonism—yang menganggap “kenikmatan” sebagai ukuran etis; yang kedua adalah Hukum Moral—Prinsip Universalitas dan Kemanusiaan sebagai tujuan dan bukan sekadar sarana, tokohnya adalah Immanuel Kant (1724 – 1804); dan yang ketiga adalah Realisasi Diri—virtue sebagai tujuan, tokohnya Plato dan Aristoteles[35]. Istilah Humanisme di kemudian hari banyak dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant yang menganggap bahwa ukuran etis adalah prinsip-prinsip kemanusiaan.

Etika Ahimsā dalam teori modern adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia (10 Desember 1948) sebagai reaksi keras atas kebiadaban Perang Dunia I dan II[36], dan juga bagian dari humanisme. Dengan kata lain, ahimsā dalam dunia modern adalah humanisme yang menentang kekerasan. Perbedaannya dengan Etika Ahimsā menurut agama-agama, adalah ahimsā-non-agama kebenaran obyektifnya bersifat relatif, bisa diperdebatkan, sementara ahimsā-agama (Hindu-Islam dalam tulisan ini) kebenaran obyektifnya berada pada doktrin reward and punisment-nya—Jagadhita (kebahagiaan dunia) dan Moksa (kebahagiaan akhirat).

Kesimpulan

AHIMSĀ dikenal baik di Hindu maupun di Islam dengan terminologi yang berbeda. Pertama, kata Shanti (Hindu) dan Salam (Islam) adalah tanda bahwa agama-agama ini (dan yang lainnya) menuntun umatnya untuk berpikir, bertutur, dan berlaku damai, menghindari kekerasan. Kedua, Etika-Ahimsā seyogyanya dimulai dari pengendalian hawa nafsu (al-nafs atau Sad Ripu). Mustahil Tri Kaya Parisuda (Sukma) manusia bisa ber-ahimsā bilamana Sad Ripu yang destruktif masih mendominasinya. Dengan kata lain, pengelolaan Sad Ripu—enam “musuh” dalam diri manusa—[37] adalah awal Etika-Ahimsā. Bagaimanapun juga, segala tindakan destruktif manusia, baik yang beragama maupun yang tidak-beragama, baik yang menggunakan agama sebagai tameng kepentingan atau yang tidak, selalu berawal dari tidak terkelolanya dengan baik al-Nafs (Sad Ripu) yang ada di dalam diri manusia. Pada akhirnya, manusia yang tidak mampu mengendalikan nafs-nya (hawa nafsu) derajatnya lebih rendah dari hewan, demikian kata Tuhan di dalam Al-Qur’an[38]. (*)

Denpasar, 2007

*) adalah esais yang kini sedang menempuh program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar Bali

Catatan Kaki:




[1] Lihat, Prof. dr. K. Bertens da;am Sejarah Filsafat Yunani, 1999, Kanisius, hal. 107.

[2] Dikutip dari Dr. A.N. Baqirshahi, “Dasar-Dasar Nilai Moral: Studi Komparatif atas Pandangan Allamah Thabathaba’i dan Ayatullah Muthahhari” dalam Jurnal Al-Huda, Volume I Nomor 2, 2002, hal. 97.

[3] Lihat Francis Alapatt, 2005, dalam Mahatma Gandhi, Prinsip Hidup, Pemikiran Politik dan Konsep Eknomi, penerbit Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hal. 61.

[4] Sarasamusccaya, 2000, Pemerintah Propinsi Bali, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh I Njoman Kadjeng, dkk., hal. 73.

[5] Sarasamusccaya, 2000, Pemerintah Propinsi Bali, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh I Njoman Kadjeng, dkk., hal. 48.

[6] Lihat: S.M. Srinivasa Chari dalam The Philosophy of the Upanisads, A Study Based on the Evaluation of the Comments of Śamkara, Rāmānuja, and Madhva, 2002, penerbit Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd, hal 55. Chāndogya Upanisad adalah salah satu dari empat belas kitab Upanisad lainnya. Ia membahas doktrin Vedānta. Chāndogya Upanisad adalah pembahasan dari Samaweda; ia terdiri atas delapan bagian yang disebut adhyāya yang masing-masingnya dibagi ke dalam beberapa bagian yang disebut Khaņda.

[7] Lihat John McKenzie, MA dalam Hindu Ethics, A Historical And Critical Essay, penerbit Oriental Books Reprint Corporation, New Delhi, hal 60.

[8] Lihat, T.W. Rhys Davids, dalam The Hindus, Encyclopedia of Hinduism, 2000, Cosmo Publications, New Delhi, Vol. 1 A-C, hal 38 – 39.

[9] Opcit, hal. 61.

[10] ibid, hal. 61. Terjemahan bebas oleh penulis, statemen pertama: “Tak ada dosa besar yang lebih parah dari orang yang, selain tidak menyembah Tuhan, juga selalu mencari untuk mengenyangkan lambungnya dengan daging makhluk lain.” Statemen kedua, “Siapa saja yang memakan daging, entah daging itu dibelinya sendiri, atau dia sendiri yang menyembelihnya, atau bahkan menerimanya sebagai hadiah, tidak berdosa selama daging itu dipersembahkan kepada Tuhan.”

[11] Lihat I Gusti Ngurah Gorda, Dr. MS, MM, dalam Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma, 2004, Penerbit Pusat Kajian Hindu, Budaya Dan Perilaku Organisasi Sekolah Tinggi Ilu Ekonomi Satya Dharma, Singaraja, hal. 45.

[12] ibid, hal. 8.

[13] Lihat I Gusti Ngurah Gorda dalam Membangun Dharmawacana Yang Sejuk Dan Damai, Penerbit Astabrata Bali, 2005, hal. 14 – 26.

[14] Sebagaimana yang dikutip oleh Dr. I Gusti Ngurah Gorda, MS, MM, dalam Membangun Dharmawacana Yang Sejuk Dan Damai, Penerbit Astabrata Bali, 2005, hal. 59.

[15] Dikutip dari ibid, hal. 57

[16] Dikutip dari ibid, hal. 45.

[17] Dikutip dari ibid, hal. 34.

[18] Lihat: Prof. Dr. Tjok. Sudharta, M.A, dalam Slokāntara, Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan, 2004, penerbit Paramita, Surabaya, hal. Hal 27.

[19] Menurut Prof. Dr. I Gusti Ngurah Gorda, MS, MM, ada tiga makna doktrin Karmaphala Sraddha, yang pertama makna literernya, kedua makna simboliknya, dan yang ketiga makna futuristisnya. Saya mengaitkan konteks pembahasan ini dengan makna yag ketiga, yakni yang visioner. Lihat: opcit, hal. 11 -12.

[20] Dikutip dari Dr. I Gst, Ngurah Nala dan Drs. I.G.K. Adia Wiratmadja, 1989, dalam Murddha Agama Hindu, Upada Sastra, Denpasar, hal. 23.

[21] Opcit hal. 40 – 44.

[22] Islam berasal dari kata ‘Aslama’ yang berarti selamat dan damai. Kata ini juga berderivasi dan kemudian menjadi kata ‘Salaam’ yang biasanya diucapkan kepada seseorang, misalnya “Assalamu ‘alaikum…” yang berarti “Keselamatan atau damai atasmu”. Allah (Tuhan atau Hyang Widhi) bahkan menggunakan kata ini, misalnya di dalam surah Yaasiin ayat 58, “Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” Lihat: Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama RI, 1993. Lihat juga Prof. Dr. Marcel A. Boisard dalam Humanisme Dalam Islam, 1980, penerbit Bulan Bintang, Jakarta, hal. 41.

[23] Lihat QS (21:107).

[24] Lihat Murthada Muthahhari dalam Filsafat Moral Islam, (terjemahan) 2004, penerbit Al-Huda, Jakarta. Ini adalah hadits yang sudah dikenal secara umum oleh umat Islam, baik Islam-Sunni maupun Islam-Syiah. Dalam redaksi yang berbeda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”, hal. 27.

[25] “Kita memaafkan karena kita tidak bias melupakan”.

[26] Lihat ibid hal. 23.

[27] Ibid, hal 23

[28] QS. Al-Maidah: 32.

[29] Misalnya pembahasan Prof Abdul Rahman Bin Hammad Al Umar dalam Islam The Religion Of Truth, tanpa tahun, versi Bahasa Inggris oleh Ahmad Hassouma di bawah pengawasan Supreme Head Office for Religious Researchs, Ifat, Call and Guidance Departments, hal. 43 pembahasan tentang persuadaraan antara Muslim dan Non Muslim. Begitu juga dengan Said Hawwa dalam bukunya Al-Islam (terjemahan), 2004, penerbit Gema Insani Jakarta, hal 283 pembahasan tentang tidak dibolehkannya seseorang membunuh sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 32 dan Surah Al-Isra ayat 70.

[30] Lihat Chawkat Moucarry dalam The Search For Forgiveness, Pardon and Punishment in Islam and Christianity, 2004, Inter-Varsity Press, hal.19. Terjemahan bebas dari penulis: “Pemaaf adalah janji Tuhan yang merefleksikan dir-Nya.”

[31] Ibid, hal 20. terjemahan bebas dari penulis: “Ajaran Islam mendorong setiap Muslim untuk mencari keridhaan (pemaafan) Tuhan dan hendaknya mereka memaafkan orang-orang yang mendzalimi mereka.”

[32] Kata Jihad berarti usaha yang serius. Ironisnya beberapa orang menganggap Jihad sebagai perang suci. Islam tidak mengenal istilah “Perang Suci”. Perang Suci adalah istilah dalam literature sejarah yang merujuk kepada Pasukan Perang Salib yang waktu itu memang Perang Salib dianggap sebagai Perang Suci oleh keolmpok tertentu. Lihat juga Prof. Dr. Marcel A. Boisard dalam Humanisme Dalam Islam, 1980, Bulan Bintang Jakarta, hal. 256, 257 – 265.

[33] Ibid, hal. 259. Dalam sejarah Isalm disebtukan bahwa waktu nabi Muhammad berseru, “Kita telah kembali dari perang kecil (Badar) untuk memulai perang besar (melawan hawa nafsu)”. Untuk itu dimulailah puasa sebagai tapa-brata untuk melawan hawa nafsu.

[34] Al-Nafs juga berarti jiwa seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an, Surah Al-Fajar ayat 27 – 30, “Wahai Jiwa- Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai, Maka masuklah ke dalam kumpulan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Menurut hemat penulis ayat ini secara implisit berarti juga Moksa sebagaimana kata Tuhan, “Kembalilah kepada Tuhanmu…” Lihat juga misalnya QS. An-Nazi’at: 39 – 41. Atau Murthada Muthahhari dalam Filsafat Moral Islam, (terjemahan) 2004, penerbit Al-Huda, Jakarta, Bab III, hal. 123, pembahasan tentang Diri (Nafs) Manusia.

[35] Lihat Persoalan-Persoalan Filsafat, 1984, penulis: Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan (alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi), penerbit Bulan Bintang Jakarta, hal. 147 – 154.

[36] Lihat Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota POLRI 2006, hal. 5.

[37] Opcit hal. 40 – 44.

[38] Q.S. al-Furqaan: 44, “Mereka itu, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” Lihat juga Said Hawwa dalam Al-Islam, (terjemahan), 2004, penerbit Gema Insani Press Jakarta hal. 278. Di situ Said Hawwa menyebutnya sisi “kemanusiaan” yang dipertentangkan dengan sisi “kebinatangan”. Manusia akan menjadi “binatang” jika sisi “kemanusiaan-nya” lenyap—dengan kata lain, nafs atau Sad Ripu yang tidak terkendali akan mengubah manusia menjadi hewan.


sumber :

http://fokusfilsafat.wordpress.com


Kamis, 26 November 2009

Ditemukan Tiga Arca Diperkirakan Sebelum Majapahit

Kamis, 19 November 2009

KEDIRI, KOMPAS.com--Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Kediri, Jawa Timur, memperkirakan tiga arca yang ditemukan di Desa Semen, Kecamatan Pagu itu peninggalan kerajaan sebelum Majapahit.

"Masa sebelum kerajaan Majapahit itu mempunyai ciri tersendiri, yaitu lokasi candi minimal 3 meter dari bawah tanah dan dekat dengan sumber air," kata Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Daerah Kabupaten Kediri, Ruddy Hari Santoso, Kamis.

Ruddy mengaku belum bisa memprediksi temuan tersebut berasal dari kebudayaa ataupun kerajaan apa. Pihaknya memperkirakan temuan itu sebelum kerajaan Majapahit, yang bisa berasal dari kerajaan Kediri maupun Singosari.

Ia mengungkapkan, pihaknya sudah meninjau ke lokasi temuan arca tersebut dan melakukan pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan sementara, pihaknya mengidentifikasi dua arca besar yang berukuran sekitar 1 meter itu sebagai arca Djala Dwara, yang mirip dengan naga. Sementara, satu arca kecil yang berukuran sekitar 50 centimeter itu merupakan arca Garuda Wisnu.

Arca Djala Dwara itu, kata Ruddy terdapat perbedaan fungsi, yaitu yang digunakan sebagai hiasan di lokasi pemandian atau sendang, maupun bersifat sakral sebagai media pemujaan.

"Kalau yang ditemukan itu, kami belum mengetahui dengan persis, dan saat ini, kami masih melakukan pendalaman," katanya menjelaskan.

Untuk lebih maksimal dalam melakukan penelitian, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan tim BP3 (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Trowulan, serta Balai Arkeologi Yogyakarta.

Rencananya, mereka akan datang Senin (23/11) pekan depan, mengingat saat ini tim sedang konsentrasi pada penemuan situs di Pasuruan, yang diperkirakan juga besar.

Tiga arca tersebut ditemukan oleh Juki, warga Desa Semen, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Ketiga arca tersebut ditemukan di lahan milik Imam Afad, warga setempat.

Karena belum ada tindak lanjut tentang penemuan itu, warga berinisiatif untuk melakukan penjagaan, mencegah terjadinya kerusakan temuan itu, hingga tim dari BP3 Trowulan dan Pemkab Kediri melakukan penelitian.

Ribuan Umat Hindu Siap Ikuti Upacara Penyembelihan 300 Ribu Hewan

Ribuan umat Hindu telah mendatangi sebuah desa di Nepal untuk mengikuti upacara pengorbanan ratusan ribu hewan. Lebih dari 300.000 hewan akan disembelih dalam upacara yang mengundang kecaman dan protes keras dari para aktivis penyayang hewan, termasuk aktris Prancis Briggitte Bardot.

Para pendeta Hindu tengah bersiap-siap untuk upacara tersebut. Dalam seremoni tersebut, lebih dari 15 ribu kerbau dan 300 ribu burung, kambing dan domba akan disembelih. Upacara ini akan dimulai pada Selasa, 24 November ini. Kabarnya ini akan menjadi ritual pengorbanan hewan terbesar di dunia.

Setiap lima tahun, Desa Bariyapur, dekat perbatasan selatan Nepal dengan India, mengadakan ritual agama ini. Upacara ini didedikasikan untuk Gadhimai, dewi kekuatan dalam agama Hindu di Nepal.

"Ribuan orang dari Nepal dan India sudah mulai berdatangan dan persiapan untuk festival ini berjalan cepat," tutur Mangal Chaudhary Tharu, pendeta utama di di Kuil Gadhimai.

"Rakyat punya keyakinan mendalam pada dewi dan mereka percaya bahwa mengorbankan hewan akan memberikan keberuntungan dan kemakmuran bagi keluarga mereka," imbuh Tharu, seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (24/11/2009).

Meski banyak dikecam, pemerintah Nepal menolak untuk memerintahkan penghentian upacara tersebut. Alasannya, ritual tersebut merupakan tradisi keagamaan yang telah berlangsung berabad-abad. Aparat polisi bersenjata telah dikerahkan untuk menjaga keamanan upacara.

Sai Inspires

Engage in Sadhana (spiritual practices) with full faith in truth and the Lord. You will attain the real prasanthi...pure and eternal peace. There is no status higher than that of the Lord, no embodiment of His is higher than truth. Truth even if enveloped in the darkest illusion, will shine brilliantly! However strongly you may imprison it in darkness, its effulgence cannot be suppressed. Truth can never die. Untruth can never live. You must all get firmly established in this belief.

Lakukanlah kegiatan Sadhana (latihan spiritual) dengan penuh keyakinan pada kebenaran dan pada Tuhan. Engkau akan meraih prashanti yang sejati… suci murni dan kedamaian yang abadi. Tidak ada keadaan yang lebih tinggi daripada keadaan Tuhan, tidak ada perwujudan Tuhan yang lebih tinggi daripada kebenaran. Kebenaran bahkan jika dibalut oleh kabut khayalan tergelap, masih akan tetap bersinar dengan cemerlang! Bagaimanapun kuatnya engkau mengurungnya dalam kegelapan, gemerlapnya tidak akan dapat disembunyikan. Kebenaran tidak akan pernah mati. Ketidakbenaran tidak akan bisa hidup. Engkau semua harus mantap dalam keyakinan ini.

- Divine Discourse, Prasanthi Vahini

Sai Inspires

Animals and human beings have these things in common - eating, wandering about, sleeping and seeking pleasure. However, human beings have other unique abilities like the power to reason out, the power to renounce and the power to decide on right and wrong. These are the special powers of human beings. These powers should be applied not only in worldly matters, but also in the investigation of the Ultimate Truth. If Discrimination, Renunciation and Inquiry are carried out while passing through the joys and sorrows of life, conviction is bound to dawn in a moment that all the worldly pleasures are unreal and have no basis for eternal joy. When such knowledge dawns, one is bound to tread the path of religion, perform Sadhana and take up the inquiry which leads him to Truth. This is the task that mankind must be engaged in.

Hewan dan manusia memiliki sifat-sifat umum berikut ini – makan, berkelana, tidur dan mencari kesenangan. Namun, umat manusia memiliki kemampuan khusus lain seperti misalnya kemampuan untuk memahami sesuatu, kemampuan untuk melakukan penyangkalan diri dan kemampuan untuk membedakan hal-hal yang benar dan salah. Itu semua adalah kemampuan khusus yang dimiliki umat manusia. Kemampuan ini seharusnya jangan hanya dipakai untuk hal-hal duniawi saja, namun juga untuk menyelidiki Kebenaran Sejati. Jika Kemampuan Memilah, Kemampuan Penyangkalan dan Kemampuan Menyelidiki bisa terus dimanfaatkan sembari melampaui kebahagiaan dan penderitaan hidup, maka akan muncul pendirian suatu saat bahwa semua kenikmatan duniawi adalah semu adanya dan tidak bisa menjadi dasar bagi tercapainya kebahagiaan yang abadi. Ketika pemahaman tersebut muncul, orang akan melangkah menurut ajaran agama, melaksanakan Sadhana dan mendalami pemahaman yang akan membawanya menuju pada Kebenaran. Ini adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat manusia.

Senin, 23 November 2009

Tak Ada Paksaan Dalam Hindu

Sabtu, 21 November 2009

Bandung, (tvOne)

Persoalan yang membelit Hindu Kaharingan dianggap sudah selesai, karena ternyata setelah dilakukan pengecekan di lapangan tak ada niatan keluar dari bimbingan Ditjen Bimas Hindu, Departemen Agama. Direktur Urusan Agama Hindu, I Ketut Lancar dalam acara sosialisasi program 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) ke-II menjelaskan bahwa suara "miring" seperti itu tak ada lagi di Bandung, Sabtu (21/11).

Menjawab pertanyaan apakah Hindu Kaharingan mau melepaskan diri dan berdiri sendiri, ia mengatakan, hal itu tak ada. I Ketut Lancar menjelaskan, para tokoh Hindu Kaharingan tak mau berpisah. Mereka mau berintegrasi sejak tahun 1980-an di dalam Ditjen Bimas Hindu.

Jadi, kalau mau pisah atau keluar, pihaknya tak bisa memaksa. Sebab, jika orang mau menjalankan ibadah dihalangi maka hal itu melanggar hak azasi seseorang. "Yang menghembuskan ingin pisah, itu datangnya hanya dari segelintir orang," kata Lancar.

Sebelumnya Dirjen Bimas Hindu, Prof. Dr. IBG Yudha Triguna MS menegaskan, di wilayah Indonesia tak dikenal adanya agama Hindu Bali, Hindu Jawa atau Hindu Kaharingan, karena yang ada hanya satu agama Hindu. Ia mengatakan, Hindu yang dianut suku Bali, Bugis, Jawa dan Kaharingan memang ada di Indonesia, tetapi bukan Hindu Kaharingan atau Hindu lain berdasarkan etnis tertentu. Jadi, bukan karena ada etnis setempat lantas dikenal adanya Hindu Jawa dan seterusnya.

Ia mengakui belakangan ini ada kecenderungan kelompok tertentu memaksakan kehendak sendiri untuk memasukkan agama Hindu sesuai dengan nama etnis tertentu. Mereka ingin memecah umat Hindu berdasarkan etnis dimana Hindu dianut di wilayah daerah tertentu.

Menurut Tri, tradisi ritual agama Hindu boleh ikut tradisi setempat. Sebab, Hindu punya prinsip Desa Kala Patra (tempat, waktu dan keadaan). Namun jika ada etnis tertentu ingin adanya agama Hindu Kaharingan ataupun Hindu lainnya, tentu hal itu menyalahi ketentuan. "Itu di luar kewenangan Ditjen Bimas Hindu," katanya sambil menambahkan bahwa hal itu tak ada di nomenklatur.

Ia menjelaskan, adanya otonomi daerah telah dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyebut bahwa agama Hindu lebih dari satu, ada Hindu Bali, Hindu Kaharingan dan Hindu Jawa yang sesungguhnya telah menyalahi ketentuan.

Karena itu, ia berharap adanya pandangan Hindu lebih dari satu hendaknya dijauhi. Hal ini terjadi disebabkan kurangnya sosialisasi bersamaan dengan munculnya semangat otonomi daerah. Penonjolan semangat daerah berlebihan.

Ditjen Bimas Hindu punya kewajiban membina umat Hindu, apa pun etnisnya. Namun Bimas Hindu tak punya kewajiban membina etnis tertentu jika dia bukan umat Hindu. Terkait persoalan sekolah tinggi tinggi Hindu di Palangkaraya, ia pun menjelaskan bahwa kini kondisi di kampus itu kondusif. "Saya baru berkunjung kesana, belum lama ini," jelas Lancar.

Persoalan belum adanya rektor difinitif, juga akan segera diselesaikan. "Sekarang usulan rektor baru sudah diproses dan ada di tangan Menteri Agama," katanya. (Ant)

84 Tahun SADGURU

Tiada jalan lain untuk mengenali Tuhan selain dari mengenal diri sendiri terlebih dahulu.

Tahun menjadi baru, hari menjadi suci, yaitu ketika engkau mensucikannya dengan melalui disiplin spiritual dan bukan yang lainnya.

Hanya ada satu teman sejati yang senantiasa bersamamu, di dalam dirimu dan di sekitarmu. Dan Dia adalah Tuhan.

Semua kehidupan adalah sama adanya, oleh sebab itu, wahai Anak-Ku, perlakukanlah setiap orang secara sama rata.

Di dunia ini tidak ada obat yang bisa menyembuhkan rasa sakit yang ditimbulkan oleh ucapan-ucapan yang kasar.

Uang datang dan pergi; tetapi apabila engkau memupuk moralitas, maka nilai-nilai tersebut akan tetap tertanam di dalam dirimu.

Apabila engkau menerima umpatan/kata-kata yang kasar dari orang lain, maka janganlah engkau berperilaku yang sama terhadap orang tersebut; melainkan berbicaralah secara lembut dan penuh cinta-kasih.

Engkau tidak perlu mencari-cari ketenaran maupun penghormatan dari orang lain; yang jauh lebih penting adalah lakukanlah upaya untuk memenangkan rahmat dari Tuhan.

Engkau mungkin saja merasa jenuh bila terus-menerus meminum nectar; tetapi tidaklah demikian halnya bila menyangkut cinta-kasih.

Tuhan akan senantiasa mengamati aktivitas-aktivitas manusia bahkan yang terkecil sekalipun untuk menemukan ada/tidaknya jejak-jejak cinta-kasih.

Sekali engkau merasakan kebahagiaan Ilahi, maka batinmu tidak akan pernah lagi mencari-cari kenikmatan duniawi.

Sekali engkau menyadari bahwa dirimu adalah satu bersama-sama dengan Tuhan, maka engkau tidak akan pernah terpisah lagi (dari-Nya).

Do good, see good, be good - inilah jalan untuk menuju kepada Tuhan.

Engkau tidak akan pernah gagal dalam kehidupanmu ini jikalau saja engkau mempunyai cinta-kasih terhadap Tuhan.

Badan fisik ini akan tampil menawan jikalau karakter kita bagus; pelayanan kepada sesama serta ibadah kepada Tuhan akan memelihara pesonanya.

Engkau akan dapat memurnikan tutur-katamu dengan mengucapkan kebenaran, mengikuti ajaran Dharma serta memupuk cinta-kasih dan kedamaian.

Apabila engkau memahami bahwa Aham (I/aku), mind dan ucapanmu adalah merupakan bagian dari Divine family dan engkau juga bertindak sebagamana mestinya, maka dengan demikian, kehidupanmu akan disucikan.

Batin yang tenteram akan menghasilkan badan yang sehat; sebaliknya badan yang sehat juga akan menghasilkan batin yang damai.

Oleh karena manusia telah melupakan hubungannya dengan Tuhan, maka itulah sebabnya mengapa ia dihantui oleh ketakutan dan terjerat dalam kegelisahan berkepanjangan.

Cinta-kasih senantiasa memberi dan memaafkan. Sedangkan diri (ego) senantiasa menerima dan melupakan (jasa baik orang lain).

THOUGHT FOR THE DAY

There is no greater quality in man than selfless love, which expresses itself in service to others. Such love can be the source of real bliss. The relationship between Karma and Karma Yoga should be properly understood. Karma (action) done with attachment or desire causes bondage. But selfless action devoid of desires becomes Karma Yoga (the path of action leading to liberation). Our life should become Yoga (Divine Communion) rather than a Roga (disease).

Tidak ada sifat yang lebih agung daripada cinta-kasih tanpa pamrih, yang mengekspresikan dirinya dalam pelayanan pada orang lain. Cinta-kasih yang seperti itu dapat menjadi sumber kebahagiaan. Hubungan antara Karma dan Karma Yoga seharusnya dipahami dengan baik. Karma (perbuatan) dilaksanakan dengan kemelekatan atau keinginan duniawi yang menyebabkan keterikatan. Tetapi perbuatan yang sama sekali tanpa keinginan menjadi Karma Yoga (jalan menuju pembebasan). Hidup kita seharusnya menjadi Yoga (menyatu dengan Tuhan) daripada menjadi Rhoga (penyakit).

THOUGHT FOR THE DAY


The end of wisdom is freedom. The end of culture is perfection. The end of knowledge is love. The end of education is character. There is a desire on the part of all of us to acquire these four qualities, namely wisdom, culture, education and reach their ends, namely freedom, perfection, love and character. But students should realize that if these qualities are not properly utilised, then they cannot call themselves students. As students and future citizens of this country, you have the responsibility of shaping the future of this country. Put your hearts in the right path by listening attentively to the persons of eminence and experience.

Akhir dari kebijaksanaan adalah kebebasan. Akhir dari peradaban adalah kesempurnaan. Akhir dari pengetahuan adalah cinta-kasih. Akhir dari pendidikan adalah karakter. Adalah keinginan kita semua untuk mendapatkan keempat kualitas tersebut; kebijaksanaan, peradaban, pendidikan dan untuk mencapai tujuan yaitu kebebasan, kesempurnaan, cinta-kasih, dan karakter. Tetapi seorang siswa seharusnya menyadari bahwa jika sifat-sifat ini tidak digunakan dengan benar, maka mereka tidak dapat menyebut diri mereka sebagai siswa. Sebagai siswa dan warga masa depan negara ini, engkau memiliki tanggung jawab membentuk masa depan negara ini. Tempatkan hatimu di jalan yang benar dengan mendengarkan orang-orang yang berpengalaman dan terkemuka dengan penuh perhatian.

THOUGHT FOR THE DAY


The progress of the universe is interlinked with the progress of man. Any amount of development in scientific, economic and social spheres will not be of much use without mental transformation. How can we bring about this transformation? It is by keeping in check one's passions and emotions. Since mental tension is most detrimental to man's health, man should learn the art of controlling his passions and emotions, which cause stress and strain. Man should make an earnest endeavour to lead a serene and pure life. He should realise the truth that troubles and turmoil are temporary, like passing clouds. There is no scope for agitations to arise if one realises this truth. One who realises this truth will not allow his mind to be swayed by the passions of anger, cruelty, etc.

Perkembangan alam semesta saling terkait dengan perkembangan manusia. Setiap pembangunan dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi dan sosial tidak akan banyak berguna tanpa transformasi mental. Bagaimana kita dapat melakukan transformasi ini? Ini dapat dilakukan dengan menjaga dan mengawasi keinginan dan emosi seseorang. Manusia seharusnya mempelajari seni mengendalikan hawa nafsu dan emosi, yang menyebabkan ketegangan dan stress, karena ketegangan mentallah yang paling merugikan kesehatan manusia. Manusia seharusnya membuat upaya yang sungguh-sungguh untuk menjalani kehidupan yang murni dan tenang. Manusia seharusnya menyadari kebenaran bahwa masalah dan kekacauan bersifat sementara seperti awan yang berlalu. Jika seseorang menyadari kebenaran ini, tidak ada kesempatan untuk munculnya pergolakan. Seseorang yang menyadari kebenaran ini tidak akan membiarkan pikirannya dipengaruhi oleh hawa nafsu kemarahan, kekejaman, dll.

Sai Inspires - 22nd November 2009

Many do not understand the real meaning of "Deho Devalayam" (Body is the temple). What is the purpose of the body which is actually a temple? It is to worship the Lord within. The temple of body is to be preserved and decorated for the sake of God there in, the Atma Swarupa. Forgetting this, people are immersed in faith in the body, bliss of the body, decoration of the body and dedication to the body. Do not hold fast to the unreal, temporary outer building called the body. Nevertheless, you should maintain the body carefully and not ruin it, because through this temple, the Lord can be seen. Hence always watch your body with care and protect it and never neglect the Lord within.

Banyak orang yang tidak memahami makna “Deho Devalayam” (Badan adalah tempat suci). Apakah kegunaan dari badan yang juga sebagai tempat suci? Badan adalah tempat suci untuk memuja Tuhan yang ada di dalam diri kita. Tempat suci berupa badan tersebut haruslah dijaga dan dihias bagi Tuhan yang bersemayam disana, sang Atma Swarupa. Akibat melupakan hal ini, orang-orang tenggelam dalam keyakinan pada badan, kesenangan untuk badan, hiasan bagi badan dan mengabdi kepada badan. Janganlah begitu terikat pada bangunan luar yang sementara dan semu yang disebut dengan badan. Meskipun demikian, engkau harus merawat badanmu dengan sebaik-baiknya dan jangan menghancurkan badanmu, karena dengan melalui tempat suci inilah, maka Tuhan bisa terlihat. Oleh karena itu tetaplah menjaga badanmu dengan penuh perhatian dan melindunginya serta janganlah mengabaikan Tuhan yang bersemayam di dalamnya.

-Divine Discourse, Prasanthi Vahini .

THOUGHT FOR THE DAY

Men cannot comprehend the Formless and the Attributeless Absolute. Avatars (Divine Incarnations) appear in human form to enable humanity to experience the Formless in a form which is accessible to them and helpful to them. An Avatar assumes the form that is beneficial to and within the reach of human beings. An effort must be made to understand the nature of divinity. It is only when God comes in human form can human beings have the full opportunity to experience and enjoy the Divine.

Manusia tidak dapat memahami Tuhan yang Tanpa Wujud dan Absolut. Avatar (penjelmaan Tuhan) menjelma dalam wujud manusia untuk memungkinkan manusia mengalami Yang Tak Berwujud dalam sebuah wujud yang dapat mereka terima dan dapat membantu mereka. Avatar mengambil wujud yang bermanfaat dan dapat dijangkau oleh manusia. Manusia harus berusaha untuk memahami sifat-sifat ketuhanan. Hanya jika Tuhan menjelma dalam wujud manusialah, manusia memiliki kesempatan penuh untuk mengalami dan menikmati ketuhanan tersebut.

Date: Monday, November 23, 2009

Inspires

The world is the Lord's Mansion. Know it as such. He is moving about in that mansion, in its many rooms. God's worship can be done well, only if the temple is clean and pure. Never forget the the fact that what gives your body the value and purpose is the Atma (Divine Self) within you. So engage yourselves in winning peace for yourself and the world. Never ignore the Lord whose mansion is the world. Without Him, the body is a tomb, not a temple. If you always remember Him, that is joy and victory; that will bring you all auspiciousness (sarva mangala).

Dunia ini adalah Rumah Tuhan. Pahamilah hal ini. Beliau berkeliling didalam rumah tersebut, mengunjungi kamar-kamarnya. Pemujaan kepada Tuhan bisa dilaksanakan dengan baik, hanya jika tempat suci tersebut bersih dan murni. Jangan lupa bahwa yang memberi nilai dan manfaat bagi badanmu adalah Atma (Sang Diri Illahi) di dalam dirimu. Jadi libatkanlah dirimu dalam usaha memenangkan kedamaian bagi dirimu dan seluruh dunia. Jangan pernah mengabaikan Tuhan yang memiliki dunia ini sebagai rumahNya. Tanpa Tuhan, badan ini hanyalah bagaikan sebuah kuburan, bukan tempat suci. Jika engkau selalu mengingat Tuhan, itu adalah kebahagiaan dan kemenangan; yang akan membawakanmu semua harapan baik (sarva mangala).

-Divine Discourse, Prasanthi Vahini.


Minggu, 15 November 2009

Manusia adalah Makhluk Berpikir

Manusia adalah makhluk berpikir (homo sapiens). Alam pikiran manuisa terdiri dari empat lapis, yaitu: ahamkara (ego atau keakuan), manah (naluri pikiran), buddhi (akal budi pikiran), dan chitta (kesadaran pikiran). Kemampuan pikiran manusia lebih sempurna daripada makhluk hidup lainnya, yang mengangkat martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia di dunia ini. Bersyukurlah telah terlahirkan menjadi manusia.

Dalam Sarasamuccaya disampaikan, bahwa di antara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah perbuatannya digolongkan ke dalam perbuatan baik atau buruk. Leburlah segala perbuatan buruk itu ke dalam perbuatan baik, karena dengan demikian kita menjadi manusia yang berguna. Oleh karena itu, janganlah sekali-kali bersedih hati, sekalipun hidupmu tidak bergelimang harta. Dilahirkan menjadi manusia hendaklah disyukuri, hendaklah menjadikanmu berbesar hati. Sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran dengan martabat yang paling rendah secara duniawi sekalipun. Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama. Sebab, dengan kelengkapan yang dianugerahkan kepadanya, jika digunakan dengan baik dan benar, ia akan dapat menolong dirinya dari samsara, dengan jalan berbuat baik tanpa pamrih. Demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia. Jika ada orang tidak mau melakukan perbuatan baik, orang semacam itu dianggap sebagai penyakit yang menjadi obat nerakaloka, bagaikan orang sakit yang pergi ke suatu tempat di mana tidak ada obat-obatan. Kenyataannya, ia selalu tidak memperoleh ketenangan dalam segala perbuatannya. Kesimpulannya, pergunakanlah dengan sebaik-baiknya kesempatan menjelma menjadi manusia ini, kesempatan yang sungguh sulit diperoleh, yang merupakan tangga menuju kesempurnaan. Segala sesuatu yang menyebabkan agar tidak jatuh lagi hendaknya dilakukan.

Binatang bekerja dan berbuat menurut naluri pikirannya, bila ia lapar ia mencari makanan. Bila ia birahi ia mencari pasangan untuk menyalurkan birahinya. Bila ia jatuh sakit, ia tetap memakan makanan seperti kemarin-kemarin, yang mungkin menyebabkan sakitnya bertambah parah dan mestinya dihindari, dan mencari makanan yang sekiranya bisa menjadi obat untuk kesembuhan penyakitnya. Tapi itu tidak dilakukannya, ia hanya menunggu kesembuhannya dari alam. Berbeda dengan manusia yang mempunyai tingkat kesadaran pikiran yang lebih tinggi, dengan buddhi ia dapat memikirkan dan mengusahakan dirinya menjadi lebih baik dan mempertahankan hidupnya. Dengan akal budi pikiran manusia dapat menjadikan benda-benda di sekelilingnya menjadi benda-benda yang berguna untuk hidupnya. Manusia mengubah bentuk pemberian alam sesuai dengan kebutuhan hidupnya, dari generasi ke generasi pikiran manusia terus berkembang. Perkembangan pikiran manusia telah menghasilkan ciptaan-ciptaan di berbagai bidang kehidupan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dimilikipun terus berkembang dari jaman ke jaman.

Budaya adalah salah satu hal yang tampak jelas perbedaan yang dimiliki oleh manusia, tetapi tidak dimiliki oleh binatang dan tumbuh-tumbuhan. Kebudayaan itu hanya mungkin ada karena manusia itu dapat menggunakan akal budi pikirannya. Demikianlah manusia berbeda dengan makhluk lain karena tingkat kesadaran pikiran yang dimilikinya. Manusia adalah homo sapiens, makhluk berpikir. Dengan tingkat kesadaran pikiran yang dimiliki itu manusia dapat memiliki pengetahuan yang tinggi. Dan pengetahuannya itu dapat lebih mudah diwariskan kepada anak cucu keturunannya berkat ditemukannya sistem tulis-menulis berupa huruf. Maka dengan demikian pengetahuan manusia terus bertambah dari generasi ke generasi, karena pengetahuan itu dapat tersimpan rapi dalam bentuk tulisan dengan huruf-huruf itu. Berbagai ilmu pun dikembangkan dari pengetahuan-pengetahuan tersebut. Tinggal manusianya itu sendiri, apakah ilmu-ilmu yang berkembang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan atau sekedar untuk memenuhi keinginannya, yang mana keinginan-keinginan yang tidak terkendali malah dapat menyebabkan kerugian bagi manusia itu sendiri, sehingga apa yang menjadi kebutuhan hidupnya yang utama terlalaikan, akhirnya, di tengah-tengah perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin canggih, manusia tergilas oleh ciptaannya sendiri. Tapi, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk berpikir, maka ia akan berpikir dan berpikir lagi, apa yang terbaik bagi kesempurnaan hidupnya.

Sabtu, 14 November 2009

Manusia adalah Makhluk Religius

Dengan memperhatikan keberadaan manusia di dunia, nyata ia tidak dapat melengkapi dirinya sendiri dengan kesendiriannya. Ia adalah makhluk yang lemah, dan karena lemahnya itu ia tidak sempurna. Manusia menyadari akan kenyataan ini, dan atas kesadarannya itu pula lalu timbul kehendak untuk menyempurnakan dirinya dengan bantuan orang lain dan benda-benda penunjang hidup. Dengan bantuan ini ia merasa mempunyai kemampuan menghadapi hidup ini yang mengantarkannya untuk mendapatkan rasa aman dan tenang. Nyatalah rasa aman dan tenang itu adalah kebutuhan setiap orang, karena semua orang mendambakan hal itu.

Seorang anak kecil yang sedang merasa terancam merasa aman dan tenang setelah ada dalam pelukan ibunya. Seseorang yang sedang membawa uang dalam jumlah yang besar merasa aman dan tenang setelah mendapat pengawalan polisi. Untuk mendapatkan rasa aman dan tenang, orang memerlukan tempat berlindung pada orang yang dianggapnya lebih kuasa dari dirinya sendiri.

Bila seseorang sedang merasa terancam keamanan dan ketenangannya, dan tidak ada seorang atau sesuatupun yang dianggapnya bisa dijadikan tempat untuk berlindung dan menolongnya, ke manakah ia harus berlari untuk memohon dan mendapatkan perlindungan dan pertolongan? Pada saat demikian, tiada lagi tempat untuk bergantung, tiada lagi tempat untuk berlindung, kecuali pada Yang Maha Kuasa, Tuhan. Di hadapan Tuhan ia menyerahkan diri seutuhnya, berserah diri secara total, tiada bagian yang tertinggal, dan ia merasakan berpasrah diri seperti itu dapat mendatangkan kedamaian hatinya.

Pada saat orang merasa sudah tidak berdaya, tetapi masih diberikan secercah pikiran yang terang untuk mengingat bahwa ada sesuatu yang mutlak yang berkuasa atas dirinya, maka ia akan segera berserah diri seutuhnya kepada sesuatu yang mutlak tersebut. Berserah diri seutuhnya berarti penyerahan diri setulus-tulusnya yang mengantar orang untuk berbhakti kepada sesuatu yang mutlak itu, Tuhan, yang menerima penyerahan dirinya. Demikianlah rasa bhakti ini kemudian diwujudkan dalam pelaksanaan ajaran-ajaran agama. Orang ingin menyatakan bhaktinya dengan mengadakan hubungan batin dengan Yang Maha Kuasa, tempat tumpuan bhaktinya itu. Ungkapan bhakti dunyatakan dalam doa-doa mantra, kidung-kidung dan persembahan suci dalam pemujaan-pemujaan atau kebhaktian-kebhaktian keagamaan. Adapun kebhaktian-kebhaktian agama itu sudah ada sejak jaman dahulu, walaupun bentuknya tidak seperti sekarang. Mungkin mereka hanya menyembah roh-roh ataupun yan lainnya, namun semuanya menunjukkan keyakinan pada sesuatu kekuasaan di atas segalanya. Para ahli sejarah menyatakan bahwa manusia sejak jaman dahulu sudah selalu ingin menghubungkan dirinya dengan Tuhan, dengan berbagai cara. Hal ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk religius, makhluk yang ingin mendekatkan diri pada Tuhan. Tuhan adalah segalanya. Pada Tuhan kita mendapatkan kedamaian yang langgeng, yang tidak bisa kita dapatkan selain dari pada-Nya.

(sraddha.Fb)