Rabu, 28 Januari 2009

Malam Siwa

Siwa Ratri (Malam Siwa) adalah momen peleburan dosa dengan melakukan tapa brata.
Tujuannya agar memiliki daya tahan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan di dunia ini. Perayaan Siwaratri tak dapat dipisahkan dengan cerita LUBDHAKA ( kekawin Siwaratrikalpa ) yang dikarang oleh Mpu Tanakung- Kakawin ini ditulis pada Abad ke 15. Di dalam cerita ini dikisahkan bagaimana Lubdhaka seorang pemburu sedang berburu di tengah hutan. Tetapi sudah lama ia mencari-cari mangsa, tidak dapat. Padahal hari mulai malam. Maka supaya tidak diterkam dan menjadi mangsa binatang buas, ia lalu memanjat pohon dan berusaha supaya tidak jatuh tertidur. Untuk itu ia lalu memetiki daun-daun pohon Bilva yang dipanjatnya dan dibuanginya ke bawah. Di bawah ada sebuah kolam. Kebetulan di tengah kolam ada sebuah lingga dan daun-daun berjatuhan di atas dan sekitar lingga tersebut.

Selang beberapa lama ia pun melupakan peristiwa ini dan kemudian meninggal dunia. Arwahnya lalu gentayangan di alam baka tidak tahu mau ke mana. Maka Batara Yama melihatnya dan membawanya ke neraka. Tetapi pada saat yang sama Batara Siwa melihatnya dan ingat bahwa pada suatu malam yang disebut "Malam Siwa" (Siwaratri) ia pernah dipuja dengan meletakkan dedaunan di atas lingga, simbolnya di bumi.

Lalu pasukan Yama berperang dengan pasukan Siwa yang ingin mengambilnya ke sorga. Siwapun menang dan Lubdhaka dibawanya ke sorga.

Hutan - hutan tempat Lubdhaka berburu mungkin kini telah berubah menjadi Hutan beton dan perkantoran, jalan raya besar dan pemukiman padat penduduk karena keturunan Lubdhaka telah semakin banyak. Binatang buas yang mengancam “memakan” Lubdhaka pun sudah tidak ada lagi karena bisa saja Harimau pada masa Lubdhaka hidup, kalah buas dengan Manusia masakini. Keturunan LUBDHAKA kini bahkan saling buru dengan keturunan lubdhaka yang lainnya. Sehinga seharusnya keturunan Lubdhaka masa kini juga harus melakukan Tapa Brata “bergadang/ terjaga” dan tidak terlena oleh godaan Kaliyuga. "Terjaga" bukan lagi ditengah hutan lebat tetapi dalam kehidupan yang materialistis dan mementingkan diri sendiri.

Untuk menerobos “gelap”nya hutan dijaman kali hanya ada satu cara yaitu cahaya TUHAN (SIWA) dalam hati yang harus dinyalakan sehingga tidak padam. Jaman boleh gelap tetapi jangan sampai hati juga gelap. Dengan cahaya hati, duniapun perlahan mulai bercahaya. Hanya mengingat dan menyebut nama TUHAN lah Lubdhaka mencapai alam Dewa SIWA bedanya, Lubdhaka mungkin melakukan dengan terpaksa (menghindari terkaman Binatang Buas) sedangkan kita jauh memiliki kesempatan untuk untuk secara sadar menghindari sifat “binatang buas” yang menerkam hati nurani kita.