Selasa, 03 Maret 2009

(kumpulan Uraian) Tentang SAPI

Salah satu poster kuno yang pernah beredar di India sebagai suatu upaya untuk menghentikan kegiatan mengkonsumsi daging sapi baik sebagai komoditi pangan maupun media upacara adat penyembahan pada KALI. Digambarkan bahwa pada bagian-bagian tubuh sapi tersebut berstana (tinggal) para dewa yang senantisa membantu manusia.

Dalam ajaran Hindu, tidak pernah ada ritual pemujaan (Puja = worship) terhadap sapi atau menganggap sapi sebagai hewan suci bahkan larangan untuk membunuh sapi (mengkonsumsinya sebagai sarana ritual keagamaan). Anggapan-anggapan tersebut diatas lahir sebagai hasil dari analisa budayawan/sejarahwan Eropa yang kala itu meneliti kebudayaan India (yang nota bene dianggap sebagai cerminan ajaran Hindu) dan menterjemahkannya secara subyektif dengan mengkensampingkan kajian nilai estetik dari adat istiadat masyarakat budaya tersebut.

Pada masa awal weda, bangsa Arya memelihara sapi untuk digunakan sebagai sumber pangan, dengan mengkonsumsi berbagai produk pangan yang dihasilkan oleh sapi (daging, susu, yogurt, minyak) bahkan kulitnya dapat digunakan sebagai bahan pakaian atau tenda. Demikian banyaknya manfaat yang dihasilkan dari sapi, menyebabkan masyarakat “menghormati” sapi sebagai suatu anugerah yang sangat besar dari Yang Maha Kuasa ~ rasa respek tersebut menempatkan sapi (yang menhasilkan susu) sebagai hewan yang ditabukan untuk dikonsumsi (Aghanya).


Dari paham tabu/aghanya tersebut diatas, selanjutnya baik weda ditemukan sloka-sloka yang mengambil “pengandaian/perumpamaan” sapi sebagai perwujudan Tuhan (bukan Tuhan dalam artian yang sebenarnya), sebagai ibu (dikaitkan dengan susu yang diproduksinya), sebagai simbol kesejahteraan. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, simbol sapi juga dikaitkan dengan dewa-dewa utama Hindu sehingga paham tabu untuk mengkonsumsi sapi menjadi satu bagian yang tak terpisahkan dalam ajaran Hindu.

Namun kitab Weda juga tidak mengesampingkan adanya pembunuhan banteng dan sapi sebagai sarana ritual/puja keagamaan. Dalam Griha Sutra, pengorbanan sapi dikaitkan dengan banyak upacara keagamaan, bahkan Manusmriti, yang dalam berbagai peraturannya melarang makan daging, mengatakan, “Seseorang boleh makan daging bila daging itu sudah diperciki air suci dan dimantrai, ketika seseorang terlibat dalam menyiapkan suatu upakara sesuai hukum, dan bila hidup seseorang dalam bahaya” (Manusmriti 5:27).
dari:
**********************************************************************************
Bhagawad Gita dan Daging Sapi

Tulisan Bapak I Nyoman Sukadana dari Desa Selat, Karangasem yang berjudul Umat Hindu dan Daging Sapi yang antara lain mempertanyakan: apakah orang Hindu benar dilarang untuk makan daging sapi? (Surat Pembaca, 1/12), saya yang bukan pakar agama Hindu ingin sedikit menyampaikan pendapat.

Dalam pustaka suci Bhagawadgita (intisari Weda) yang terdiri dari 3 shakta yaitu jalan karma, upasana (kebaktian), dan jana terdapat sloka-sloka yang memuat kuantitas dan kualitas makanan yang berkaitan dengan ketiga jalan itu. Menempuh jalan menuju Tuhan dengan karma yaitu bekerja tanpa ikatan, tanpa mengharapkan hasil diperlukan kedisiplinan berpikir. Artinya apa pun jenis kerja itu pikiran harus tunggal, mengingat Tuhan, apa pun hasil pekerjaan itu pikiran harus seimbang, dan apa pun lingkungan duniawi kerja itu pikiran harus terkendali.

Pada bagian akhir karma shakta, yaitu Bab VI, sloka 16 dijelaskan: Sesungguhnya yoga tidaklah untuk ia yang makan terlalu banyak, atau terlalu sedikit, tidaklah untuk ia, oh Arjuna yang tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit. Menurut saya, daging termasuk daging sapi adalah makanan yang paling enak di antara jenis makanan lainnya, sehingga bila orang mengkonsumsi daging apapun cenderung akan makan berlebihan yang berakibat jalan karma yang ditempuh untuk mencapai yoga, ketenangan, kebahagiaan abadi, menjadi terganggu.

Selanjutnya menempuh jalan menuju Tuhan dengan jalan pengabdian, bakti atau cinta kasih. Pada bagian Upasana Shakta, Bab XII, bait pertama Sloka 13 Sri Krishna, Awataran Dwapara Yoga menasihati Arjuna sebagai berikut: Advesta sarvabhutanam (jangan membenci mahluk apa pun). Jadi, hanya membenci makhluk apa pun sudah tidak dibenarkan apalagi menyakiti, menyembelih hewan seperti sapi untuk dikonsumsi tentu lebih tidak dibenarkan.

Terakhir, menempuh jalan menuju Tuhan dengan jnana (pengetahuan). Pada bagian Jnana Shakta, Bab XVII, Sloka 8 antara lain dijelaskan, Makanan-makanan yang meningkatkan kesehatan, kebahagiaan, dan sukacita adalah yang disukai orang-orang baik (satwika). Selajutnya pada Sloka 9 antara lain dinyatakan, Makanan-makanan yang menimbulkan kesakitan, dukacita, dan penyakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).

Sepengetahuan saya, jenis makanan yang sering mengakibatkan penyakit tertentu seperti tekanan darah tinggi misalnya antara lain karena mengkonsumsi daging. Jika itu benar, maka daging sesungguhnya adalah makanan yang tergolong rajasik yang akan membangkitkan nafsu (ahamkara, rasa keakuan) sehingga kemampuan pikiran untuk dapat membedakan baik-buruk, benar-salah, dan melenyapkan keragu-raguan (buddhi) menjadi tertutup.

Dengan demikian, sepengetahuan saya, dalam Bhagawad Gita (intisari Weda) tidak ada larangan bagi orang Hindu untuk makan daging sapi, tetapi Sri Krishna menasihatkan bagi orang yang ingin menempuh jalan menuju Tuhan dengan jalan karma hendaknya jangan makan terlalu banyak atau terlalu sedikit. Jalan Upasana (bakti, kasih sayang) hendaknya jangan membenci makhluk apa pun, dan jalan jnana (pengetahuan), bahwa makanan-makanan yang menimbulkan kesakitan, dukacita, dan penyakit disukai oleh orang yang bernafsu (rajasika).

Jadi, perihal larangan orang Hindu makan daging sapi itu jelaslah tergantung orangnya. Jika ingin menempuh jalan menuju Tuhan maka secara kuantitas makan tidak terlalu banyak, jangan membenci makhluk apa pun, dan secara kualitas tidak mengkonsumsi makanan rajasika (daging).

Ditegaskan lagi pada sloka terakhir dari Bhagawad Gita bahwa orang-orang akan mendapat kemakmuran, kemenangan, kebahagiaan, dan moral yang tinggi atau jalan menuju Tuhan tercapai bila berperilaku seperti Arjuna. Artinya orang itu mau mengubah pikirannya yang penuh dengan keragu-raguan sebelumnya, menjadi yakin sepenuhnya terhadap nasihat Sri Krishna atau Weda itu sendiri.

Ir. Ida Bagus Oka, MS.
Jl. Tunggul Ametung III.B/9 Denpasar Barat
Source : Balipost

Tentang Pantangan Makan Daging Sapi

Sehubungan dengan tulisan Bapak Nyoman Sukadana mengenai umat Hindu dan daging sapi yang dimuat dalam surat pembaca Bali Post pada hari Senin 1 Desember 2003, saya ingin menanggapi. Mungkin saya adalah salah seorang dari umat Hindu yang merasa sedih membaca keluhan Bapak, karena tulisan Bapak bisa sebagai cermin bagaimana pemahaman umat kita tentang agamanya. Saya tidak tahu dan tidak berani menunjuk siapa yang mesti bertanggung jawab atau yang harus dipersalahkan atas masalah tersebut.

Sebenarnya kita tidak bisa menyangkal kenyataan yang terjadi di Bali mengenai menipisnya kesadaran umat Hindu untuk menaati pantangan khusus pantangan makan daging sapi. Disadari atau tidak, ini sebenarnya merupakan salah atu sisi kemunafikan kita sebagai umat Hindu di Bali. Banyak pantangan atau etika dalam ajaran agama Hindu yang telah diabaikan atau terabaikan, yang kesannya seakan-akan perbuatan itu menjadi sah-sah saja adanya. Apabila kondisi tersebut dibiarkan berlarut-larut, bagaimana kita mempertahankan keberadaan umat Hindu dan keajegan Bali?

Untuk gambaran mengenai sapi dan daging sapi, saya menyarankan kepada Bapak agar membaca buku yang ditulis oleh Bapak Darmayasa dengan judul Keagungan Sapi Menurut Weda terbitan Pustaka Manikgeni.

Dalam buku tersebut ditulis mengenai pantangan umat Hindu agar tidak memakan daging sapi. Karena sapi bagi umat Hindu adalah binatang yang suci, binatang yang agung, ibu dari segala binatang. Kita tidak makan daging sapi bukan karena kita mengharamkan, tetapi karena kita menghormati keagungan sapi tersebut.

Saya mencari buku tersebut karena keluarga kami secara turun-temurun mempunyai pantangan makan daging sapi. Pantangan tersebut disampaikan secara lisan oleh orangtua kami, yang merupakan pesan leluhur kami yang harus diteruskan kepada anak cucu.

Besar harapan saya agar tambahan informasi ini ada manfaatnya dalam mempertebal keyakinan kita sebagai pemeluk Hindu yang mendambakan keharmonisan dalam kedamaian.

Ir. I Gusti Komang Bagus Api
Lukluk Indah Blok A No. 12
Kel./Desa Lukluk, Mengwi-Badung
Source : Balipsot

Umat Hindu dan Daging Sapi

Saya umat Hindu yang sekarang sedang melanjutkan pendidikan di negeri orang. Orang sering bertanya kepada saya, apakah orang Hindu benar dilarang untuk makan daging sapi? Saya juga sering bertanya dalam diri sendiri, apakah daging sapi pantangan bagi orang Hindu?

Saya memang pernah dinasihati supaya tidak memakan daging sapi, dengan alasan yang tidak jelas. Celakanya lagi orang di sekitar saya (umat Hindu) sering memakan daging sapi. Sudah tentu saya tidak bisa menerima hal (nasihat) ini, sehingga saya juga memakan daging sapi.

Saya ingin meminta sedikit ulasan kepada pembaca Bali Post atau kepada pakar agama Hindu, apa benar daging sapi dilarang bagi umat Hindu? Kalau dilarang, apa alasannya?

Saya mengajukan pertanyaan ini karena setiap saya akan memakan daging sapi, orang Jepang selalu menegur saya, "Orang Hindu katanya dilarang makan daging sapi, mengapa kamu makan daging sapi?" Setiap diajukan pertanyaan ini saya tidak bisa menjawab apa-apa.

I Nyoman Sukadana
Desa Selat, Karangasem

.................

Soal Daging Sapi (1)

Sehubungan dengan dimuatnya surat Bapak Nyoman Sukadana, Desa Selat, Karangasem pada harian Bali Post. 1 Des 2003 tentang larangan memakan daging sapi dapat saya jelaskan sebagai berikut.

Setelah beberapa kali saya mendengarkan ceramah agama di beberapa Pura di Jakarta, disebutkan bahwa agama Hindu Dharma tidak ada mengharamkan semua makanan termasuk daging sapi. Hanya, secara etika karena sapi selama ini digunakan sebagai alat untuk membantu di sawah maka tidak pantaslah untuk menyantapnya. Sudah dibantu masak dimakan juga.

I Nyoman Sukanadji
Cipinang Muara Rt. 003/011 No. 33B
Jatinegara Jakarta Timur 13420

--------------

Soal Daging Sapi (2)

Adau-mata guroh patni
Brahmana raja-patnika
Dhenur dhatri tatha prthivi
Saptaita matarah smrtah

"Ketujuh ini dikenal sebagai ibu yaitu: ibu kandung, istri guru (guru kerohanian), istri brahmana(varna-brahmana), istri raja, sapi, perawat dan bumi"(Kitab Niti Sastra, Bagian Hitopadesa seloka 39).

Sejak lahir sampai berusia sekitar dua setengah tahun secara teratur sang bayi akan menerima susu dari ibunya, namun tidak semua bayi/kanak-kanak seberuntung itu. Jika karena sesuatu dan lain hal sang ibu tidak dapat menunaikan tugas mulia tersebut maka segera peran ibu diganti oleh sapi (susu sapi). Meski tugas ini dia lakukan, apakah setelah melewati ladang-ladang peternakan yang dilanjutkan dengan mekanisme pabrik canggih, susu yang kita berikan kepada anak-anak kita tetap berasal dari sapi.

Tidak cukup sampai di situ. Konon ASI (air susu ibu). hanya efektif sampai pada usia dua setengah tahun itu. Banyak orang, lebih-lebih kalangan "vegetarian", sangat bergantung kepada susu sapi, bahkan sampai akhir hayatnya. Sapi jantan membantu kita membajak sawah, menarik kereta yang sarat beban, sementara ia hanya menerima jatahnya; yang pada dasarnya hanya berupa rumput, yang tidak bisa dimakan manusia.

Sampai pada tahap tertentu seperti saat penyelenggaraan yadnya di mana binatang kurban disembelih oleh brahmana untuk tujuan persembahan, lungsuran-nya boleh anda makan. Demikian juga pada saat yang amat terpaksa, ketika tidak ada lagi pilihan lain anda boleh memakan daging, ini hanya sekadar untuk dapat bertahan hidup.

Demikianlah essensi tuntunan Kitab Manawa Dharmasastra pada buku Kelima. Sekecil apa pun daging yang anda konsumsi tidak dapat anda peroleh dengan tanpa membunuh atau mengorbankan binatang. Hingga pada seloka 49 dari buku yang sama diuraikan hal berikut: "Setelah mempertimbangkan masak-masak soal asal-usul yang menjijikkan dan kekejaman dalam menyiksa dan membunuh makhluk hidup, hendaknya ia meninggalkan sama sekali kebiasaan memakan daging".

Ada ratusan ayat sejenis dari kitab-kitab Weda yang menuntun kita agar dapat memakan secara benar yaitu hanya memakan prasadam (makanan yang telah dipersembahkan kepada Tuhan). Ini agar kita sukses dalam rehabilitisi guna keluar dari samsara-punarbhava (gelang-spiral kelahiran dan kematian).

Agastya Muni Dasa (I Made Amir)
Denpasar
Source : Balipost