Senin, 09 Maret 2009

Menyelami Misteri KehidupanBHAGAVAD GITABagi Orang Modern
http://www.anandkrishna.org/english/books.php?isi=books/bhagawad_gita.lbi



Di Kurukshetra hari-hari penentuan untuk para Kaurava den Pandava telah menanti. Kedua wangsa itu telah bertekad untuk saling mengadu kekuatan, untuk rnemperebutkan martabat, kekuasaan, dan kemuliaan. Dalam setting seperti itu Bhagavad Gita menampilkan sosok satria yang bimbang, Arjuna.
Berhadapan dengan para tokoh terhormat, termasuk para gurunya, Arjuna kecit hati: Akankah aku memenangkan perang ini? Mengendap di balik keraguan itu adalah kegelapan Arjuna akan makna hidup dan kematian, makna karya dan kewajiban, yang secara pelan dan pasti disingkapkan oleh Sang Guru Sejati: Krishna.
Bagi Anda, para Arjuna modern, Kurukshetra hanyalah analogi bagi arena perjuangan hidup, di mana Anda dapat menggapai pencerahan mengenai misteri hidup ini dan meraih kesempurnaan. Di arena macam apa pun Anda berada, Kidung Sang Begawan akan menerangi Anda untuk dengan cara pandang baru menjalani hidup ini tanpa kecemasan, sampai Anda dipeluk oleh Misteri Agung, yang merengkuh segala sesuatu.


RESENSI BUKU
Kompas, Minggu, 15 Maret 1998 Perlunya Tranformasi Mentalitas

Anand Krishna,
Menyelami Misteri Kehidupan :
Bhagawad Gita bagi Orang Modern,
(PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1998),
xiii + 379 halaman, Rp 20.000.


SUATU situasi krisis akan menjadi etalase sekaligus pembuka tabir yang akan memperlihatkan jati diri seseorang, kelompok atau bangsa. Secara kasat mata akan tampak bagaimana seseorang atau kelompok menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, kekayaan, dan kemashyuran.
Sebagian lainnya kehilangan pengendalian diri sehingga menderita gangguan jiwa atau melakukan tindakan kekerasan berupa perusakan membabi buta atas manusia lain beserta lingkungan. Sebagian lagi kehilangan kewarasan dan keberanian untuk menghadapi kenyataan sehingga bersikap diam dan membiarkan bahkan mendukung tindakan ketidakadilan, kesewenang-wenangan atau penipuan. Hanya sebagian kecil yang berani mengungkapkan kebenaran yang didasari akal sehat dan kejernihan pikiran.
Bhagawad Gita yang merupakan percakapan antara Krishna dengan Arjuna di lapangan Kurukshetra lahir pada satu situasi krisis, yaitu menjelang dimulainya perang antara Pandawa dengan Kaurawa yang terkenal dengan nama Bharata Yuda.
Penulis buku ini, Anand Krishna, pendiri sekaligus pemimpin Anand Ashram di Sunter Jakarta Utara, menyatakan: "Pertempuran antara Pandawa dan Kaurawa bukan perang antar-keluarga sebagaimana digambarkan selama ini. Perang ini adalah perang demi penegakan kebenaran. Rakyat tertindas dan sudah tidak dapat bernapas lega lagi. Para Kaurawa tidak berhasil memberikan pemerintahan yang bersih. Korupsi dan kolusi merajalela. Siapa yang dekat dengan Duryodhana dialah yang menjadi orang penting dalam kerajaan. Dalam kondisi seperti itu, perang memang tidak dapat dielakkan lagi" (hal. 30-31).
"Bayangkan sejenak, ada tumor di payudara Anda. Payudara itu harus diangkat. Namun Anda masih ragu-ragu, apa gunanya hidup ini jika payudara diangkat. Seolah-olah memiliki payudara itu syarat utama bagi kehidupan. Yang harus diangkat, harus diangkat, harus dioperasi, harus diamputasi. Jangan ragu-ragu, jangan gelisah. Krishna melihat kehidupan ini secara utuh. Kaurawa bagaikan tumor ganas yang harus diangkat dan ada bagian tubuh lain yang harus ikut diangkat pula bersama tumor itu. Biarkan Operasi Illahi itu terjadi, jadilah instrumen, jadilah alat operasi di Tangan-Nya. Biar Ia yang menentukan. (hal. 84)
Bhagawad Gita bagi Orang Modern, merupakan komentar, tafsiran penulis memahami Bhagawad Gita, yaitu ajaran-ajaran Krishna yang tertuang dalam 18 percakapan. Ada dua hal yang sangat mengesankan dari buku ini.
Pertama, penerjemahan Bhagawad Gita yang aslinya berbahasa Sansekerta ke dalam bahasa Indonesia, dilakukan dengan bebas menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari (bahasa pasaran, menurut istilah penulisnya). Istilah asing (Sansekerta) hampir semuanya hilang, sehingga mudah dipahami oleh segala lapisan masyarakat.
Kedua, Bhagawad Gita, akan dimanfaatkan untuk membantu menyelami misteri (kehidupan) dan melihat bagaimana aplikasinya untuk masa kini. Menurut penulisnya pemahaman Gita pada masa lalu sudah tidak penting lagi. Yang dibutuhkan adalah pemahaman oleh dan bagi manusia kontemporer.
Mengurangi friksi
Kerukunan antar-agama hanya mungkin terwujud kalau semua pihak lebih berusaha mencari persamaan daripada menonjolkan perbedaan atau keunggulan masing-masing. Dan karena itu berusaha untuk mengurangi pikiran, ucapan, dan tindakan saling menyakiti satu sama lain.
Dalam mengomentari bagian pesan Krishna tentang Karma Yoga, penulis buku ini yang pernah sembuh dari penyakit kanker darah setelah menjalani kehidupan spiritual di kaki pegunungan Himalaya, menyatakan pandangannya sebagai berikut: "Apabila Anda termasuk golongan yang bersembah lewat pengorbanan hewan, tak perlu mengkritik mereka yang bersembah lewat sesajen. Apabila Anda melakukan persembahan dengan duduk diam, jangan mengkritik mereka yang melakukan persembahan dengan menggunakan suara. Jangan katakan mereka terlalu berisik" (hal. 197).
Dalam mengomentari bagian percakapan kedua (Samkhya Yoga), penulis menyatakan: "Rasa takut yang paling mengerikan, yang selalu menghantui kita adalah rasa takut akan kematian. Begitu kita melampaui rasa takut akan mati, kita berada di luar jangkauan maut. Kematian pun akan kita terima dengan tangan terbuka. Kematian pun dapat dijadikan perayaan. Apabila Anda menerima kehidupan seutuhnya Anda tidak akan hanya merayakan kelahiran tetapi Anda juga akan merayakan kematian. Ia yang sudah tidak takut mati, tidak dapat dibuat takut oleh siapa pun lagi. Itulah sebabnya Krishna mengatakan bahwa ia berhak atas kehidupan abadi.
Kehidupan abadi tidak berarti bahwa seseorang dapat menghindari kematian. Sama sekali tidak, karena kelahiran dan kematian merupakan dua sisi kehidupan. Ia akan sadar bahwa yang mati adalah raga, bahwasanya jiwa tidak mati. Begitu ia mengidentifikasikan dirinya dengan jiwa, kematian raga tidak akan membuatnya gelisah lagi. Dalam kesadaran jiwa, kita semua hidup abadi. Hanya saja ada yang sadar akan hal itu, ada yang belum sadar," (hal. 72-73).
Dalam komentarnya atas bagian percakapan keempat dari Bhagawad Gita, penulis buku ini menyatakan: "Pengetahuan yang sejati berarti mengetahui, menyadari bahwa di balik semuanya ini ada Tuhan. Dan kita harus meyakini hal ini. Bukan sekadar percaya. Taqwa atau rasa takut tidak dibutuhkan. Iman atau kepercayaan bisa ada sekarang, bisa hilang besok. Yang dibutuhkan adalah yakin atau keyakinan. Keyakinan yang tak tergoyahkan lagi. Bukan keyakinan pada benda-benda duniawi, bukan keyakinan pada sesuatu yang berada di luar Anda, melainkan keyakinan pada diri sendiri, pada Sang Aku yang bersemayam dalam diri Anda sendiri" (hal. 201-202).
Redifinisi agama
Di awal abad ke-20 Swami Vivekananda telah mengatakan bahwa cinta kasih yang paling tulus yang pernah dikenal umat manusia berasal dari agama, dan rasa benci yang paling kejam yang pernah dikenal umat manusia juga berasal dari agama. Pesan luhur tentang perdamaian yang didengar dunia berasal dari orang beragama, dan kutukan yang paling sengit yang pernah didengar dunia juga berasal dari orang beragama.
Tiada motif lain bagi manusia yang telah menggenangi dunia dengan darah selain agama, dan pada saat yang sama tidak ada hal lain yang memunculkan banyak rumah sakit dan perawatan fakir miskin selain agama. Tiada hal lain yang bisa membuat kita menjadi kejam seperti halnya agama, dan tidak ada hal lain pula yang menyebabkan kita menjadi lemah-lembut seperti agama.
Rasanya relevansi sinyalemen ini tidak mengalami banyak perubahan menjelang berakhirnya abad ke-20 ini. Pandangan penulis buku ini dapat kita baca pada komentarnya atas bagian percakapan keenam dari Bhagawad Gita: "Definisi Krishna tentang agama sederhana sekali. Agama harus dapat meningkatkan kesadaran kita. Kita melahirkan kelompok-kelompok baru. Dalam satu agama saja, sudah ada begitu banyak kelompok dan setiap kelompok menganggap dirinya paling benar. Apabila itu yang terjadi, Krishna mengatakan bahwa sebenarnya kita sedang memusuhi diri kita sendiri. Bertemanlah dengan dirimu. Sadarlah akan persatuan dan kesatuan dengan alam semesta ini. Itulah tujuan akhir agama" (hal. 220).
Masih banyak lagi topik-topik kontemporer yang dibahas dalam buku ini. Barangkali lebih baik Anda membacanya sendiri...!


*** (W Karyono, peminat buku-buku sosial-keagamaan, tinggal di Jakarta)