Minggu, 18 Oktober 2009

Desha, Kala, Patra

Oleh: Anand Krishna

KETIKA mengatakan "Ya, tergantung," biasanya kita tidak menjelaskan "tergantung pada apa". Kita tidak merasa perlu untuk menjelaskannya, dan tidak ada orang yang peduli akan hal itu. Jadi, tergantung-nya bisa semau kita. Tergantung pada apa pun, suka-suka kita.

Namun, di Bali, "tergantung pada apa" menjadi penting. Kata "Tergantung" tidak berdiri sendiri. "Tergantung" di Bali tergantung pada desha, kala dan patra.

Desha berkaitan dengan tempat di mana kita hidup, dan menjadi sumber nafkah kita. Kata ini sebenarnya adalah perpaduan dari dua kata: Deha, atau "badan" dan ashraya, atau "memelihara/mendukung". Maka, desha adalah yang "memelihara/mendukung tubuh" kita.

Oleh karena itu, desha tidak mesti negara di mana Anda lahir, dan/atau dari mana Anda berasal/warga Negara mana. Anda bisa dilahirkan di Betlehem, dibesarkan di Bangkok dan memiliki paspor Brasil - jika Anda hidup dan tinggal di Bali, maka Bali adalah desha Anda. Kata "desa" dalam Bahasa Indonesia berasal dari "desha" alam bahasa Sanskerta/Kawi.

Bagaimana jika Anda seorang pelancong, dan mengunjungi beberapa tempat? Tempat yang Anda kunjungi adalah desha "untuk saat itu," atau selama Anda berada di sana.

Berikutnya, kala, atau waktu, berkaitan dengan saat ini, masa ini. Bukan dengan masa lalu ataupun masa depan. Kala adalah "saat ini," di sini dan sekarang.

Terakhir, patra berkaitan dengan "peran," meskipun lebih sering diterjemahkan sebagai "konteks," yang sebenarnya tidak pas. Desha, kala dan patra - ketiganya adalah kontekstual, bukan hanya patra.

Patra mengingatkan kita akan peran kita yang berbeda dalam hidup. Peran saya di tempat kerja dan peran saya di rumah adalah dua peran berbeda. Peran yang berbeda ini dibagi lagi menjadi beberapa sub-peran.

Di tempat kerja, saya bisa menjadi bos untuk orang lain, dan seseorang bisa menjadi bos untuk saya. Saya bertanggungjawab kepada seseorang, dan seseorang bisa bertanggungjawab kepada saya. Demikian juga, peran saya di rumah sudah tak terhitung banyaknya, banyak sekali variannya. Peran saya sebagai seorang ayah dari anak-anak saya, tidak mengubah peran saya sebagai seorang anak dari ayah saya. Masing-masing dari kita memiliki multi-peran, serangkaian peran untuk dimainkan pada satu waktu yang sama.

Anda dapat melakukan percobaan seperti ini. Ambil selembar kertas dan buatlah lima kolom. Kolom pertama di mana Anda menulis tugas-tugas Anda, yang kedua untuk desha, yang ketiga untuk kala, keempat untuk patra dan kelima untuk kesimpulan.

Sekarang, ambil tugas, sebagai contohnya, buang air kecil. Dalam kolom kedua, tulislah di mana Anda berada, tidak hanya Bali - untuk lebih spesifik katakanlah di mal. Kolom ketiga: waktu - tentunya berkenaan dengan jam kerja. Kemudian datang peran Anda sebagai pengunjung, seorang pelanggan. Jadi kesimpulan akan buang air kecil di salah satu toilet umum yang disediakan.

Sekarang, ubah kolom peran dari pengunjung menjadi karyawan. Pertahankan yang lainnya tetap seperti apa adanya. Kesimpulannya akan berubah. Anda mesti mencari toilet yang disediakan untuk staf.

Demikian pula, jika Anda mengubah desha, atau tempat. Katakan, "di suatu tempat jauh dari mana-mana, di pegunungan Himalaya," di mana tidak ada toilet umum, kesimpulan akan menjadi: "Cari batu atau pohon, dan kencinglah di baliknya."

Pemahaman desha, kala, patra ini, membuat, atau barangkali lebih tepat bila saya katakan "semestinya membuat" Bali, dan masyarakat Bali menjadi sangat dinamis dan progresif. Kita menjadi peka dan lebih sadar akan semua tindakan kita. Jika benar dipahami dan dipraktikkan, petuah ini dapat membebaskan kita dari keterikatan pada kebiasaan-kebiasaan yang sudah usang, dan tidak lagi relevan. Sayangnya dan ini sangat menyedihkan - kita telah melupakan semangat di balik petuah ini

Baru-baru ini, kita membaca berita tentang keluarga yang hendak memperabukan jasad seorang relasi mereka di krematorium umum. Namun, tidak diperbolehkan oleh para tua dan pemimpin desa/adat. Alasannya: Harus ada kremasi, sesuai dengan kebiasaan, atau adat, dari desa, pada tanggal tertentu, dan dengan ritual tertentu.

Salah satu teman saya, seorang Barat yang tinggal di Bali, berkomentar, "Ini adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ini benar-benar pelanggaran yang konyol."

Teman saya yang lain, seorang tokoh di Bali dan nama beliau begitu terpandang, berkomentar sedih: "Saya menghadapi masalah yang sama ketika saya ingin mengkremasi ayah saya. Hukum adat tidak memungkinkan saya, dan saya harus menunggu lebih dari satu tahun sebelum melakukan kremasi. "

Mengapa? Terdapat beberapa alasan. Jika ada festival yang akan datang, atau upacara keagamaan lainnya, maka kremasi harus ditunda menunggu sampai waktu yang akan ditentukan. Jenazah harus "disimpan," atau "dititip," di bawah tanah - yaitu, terkubur - sebelum waktu kremasi yang tepat diputuskan, sekali lagi sesuai dengan hukum adat dan, barangkali juga, keputusan pendeta atau siapa yang lain.

Alasan diatas hanyalah merupakan salah satu, yang dapat menunda proses kremasi, dengan tentunya konsekuensi moneter tambahan. Penguburan, sekalipun untuk sementara, tidaklah gratis. Biaya untuk ritual tambahan pun mesti pikul oleh keluarga yang ditinggalkan.

Saya selalu mendengar keluhan dari pemuda-pemudi asal Bali, terutama mereka yang tinggal di Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia, bahwa mereka tidak bisa lagi mengikuti peraturan semacam itu, "Intervensi adat, kepala suku desa dan lain-lain akhirnya akan memaksa kita untuk melepaskan agama Hindu dan memeluk Islam atau Kristen". Banyak dari mereka yang "sudah" melakukannya.

Desha, kala, patra. Saya harus mengingatkan Bali akan warisan budayanya yang luhur. Ketiga kata sarat dengan makna ini sesungguhnya adalah mantra untuk kemajuan dan evolusi. Apa yang relevan kemarin mungkin tidak lagi relevan untuk hari ini. Memang, ada pula beberapa adat dan kebiasaan yang masih relevan dan harus dilanjutkan. Sementara itu, yang sudah tidak relevan lagi harus ditinggalkan.

Bersikukuh mempertahankan segala sesuatu yang kuno, atau "dari sononya sudah demikian" akan merusak, bahkan menghancurkan kita sendiri. Kita harus secara cerdas, dan mengggunakan viveka atau akal-sehat, meninjau kembali kebiasaan-kebiasaan atau adat-adat masa lalu kita. Silakan mempertahankan dan mengikuti apa saja yang masih relevan, dan mengandung nilai-nilai budaya yang luhur. Dan, tinggalkan apa yang sudah tidak relevan.

Untuk anak-anak muda yang meninggalkan iman mereka dengan pertimbangan adat, saya harus berkata: Jangan menjadi pengecut. Pengecut adalah tanda kelemahan. Apa yang dapat Anda capai dalam hidup jika anda berperilaku pengecut seperti itu?

Anda memiliki tanggung jawab untuk reformasi peraturan, adat dan tradisi yang sudah usang. Anda tidak bisa lari dari tanggung jawab itu. Anda memiliki kewajiban terhadap pulau Bali. Selamatkan dia dari kematian perlahan-lahan akibat degenerasi dan degradasi nilai-nilai luhur. Ingat pepatah dari nenek moyangmu: desha, kala dan patra!

Menariknya, para tua pun selalu menggunakan mantra yang sama untuk membenarkan apa yang mereka lakukan. Hal ini menunjukkan ketidakpahaman kita terhadap makna dan implikasi dari kata-kata tersebut.

Desha, kala, patra mengandung nilai perubahan yang dinamis. Petuah ini merupakan panggilan untuk berubah dengan menjadi perubahan itu sendiri.

Adalah keliru jika, kita di Bali, menafsirkan desha, kala, patra sebagai peribahasa "Ketika di Roma, bertindaklah seperti orang Roma" versi Bali. Kemudian, kita tujukan kepada orang-orang Non-Bali saja, yang kebetulan sedang berkunjung, atau tinggal di sini.

Desha, kala, patra tidak hanya ditujukan kepada warga Non-Bali yang berada di Bali, tetapi suatu nasihat yang ditujukan untuk seluruh masyarakat Bali, terlebih bagi pada penduduk dan penetap di pulau ini. Kita semua perlu untuk maju dan berkembang.

Sesungguhnya, Bali dapat memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap peradaban baru dunia kita. Petuah ini relevan untuk semua ras, dan semua bangsa. Adat dan tradisi semestinya memfasilitasi, bukan malah menjadi beban bagi kita semua.

Peringatan buat kita semua: Mari kita belajar dari sejarah, dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh peradaban-peradaban besar di masa lalu. Mereka yang enggan mengubah diri mengalami kehancuran, pembusukan, dan akhirnya mati. Pada saat yang sama, mereka yang terbawa oleh arus dan kehilangan jatidirinya, mengalami kehancuran, pembusukan, dan kematian juga.

Kita harus belajar untuk memfasilitasi perubahan, sesuai dengan desha, kala dan patra. Kita, sungguh memiliki pedoman dan alat ukur yang luar biasa untuk menjaga keseimbangan antara apa yang harus diubah dan apa yang harus dilanjutkan.

Kesinambungan dalam perubahan - dan itu hanya mungkin terjadi jika kita benar-benar memahami filosofi di balik peribahasa yang indah ini, ketiga kata berikut adalah mantra yang sangat manjur: Desha, Kala dan Patra.

*Penulis adalah aktivis spiritual, dan telah menulis lebih dari 130 buku. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kegiatannya di Bali, silakan menghubungi Aryana atau Debbie di 0361 7801595 atau 8477490, atau kunjungi www.aumkar.org, www.anandkrishna.org (Tulisan ini pertama kali dimuat di The Bali Times, diterjemahkan oleh Tina M.Ch.)