Minggu, 21 Juni 2009

Konsep Pemujaan dalam Padmasana



Oleh: I Gede Sudarsana,Yayasan Pendidikan Soroako (YPS)

Karena keterbatasan yang dimiliki oleh manusia, maka dalam melakukan pemujaan kepada Tuhan, manusia membutuhkan media untuk memusatkan pikirannya. Sebab sangat sulit sekali untuk mengendalikan pikiran itu. Ia dikatakan bagaikan kuda binal yang suka lari ke sana kemari. Ada juga yang mengandaikan pikiran itu tak ubahnya bagaikan monyet yang dimasukkan dalam karung, ia akan tak henti-hentinya meronta-ronta. Demikianlah pikiran itu, semakin dikendalikan semakin sulit kita untuk menguasainya. Untuk itu dibutuhkan ketekunan dan kerja keras. Mengapa pikiran itu sulit untuk dikendalikan ? Bhagawan Wararuci mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh karena pikiran itu, adalah merupakan sumbernya nafsu (Apang ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya). Kapan kita dapat mengendalikan pikiran tersebut, maka kebahagiaan itu adalah sebuah keniscayaan. Hal ini disuratkan dalam kitab Sarasamuscaya, Sloka 81 yaitu disebutkan: “... hana pwa wwang ikang wenang humrt manah, sira tika manggeh amanggih sukha, mangke ring paraloka waneh”. Artinya jika ada orang yang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh kebahagiaan baik sekararig maupun di dunia yang lain.

Dalam agama Hindu ada banyak sekali media yang digunakan sebagai sarana untuk memuja Tuhan, salah satunya adalah Padmasana, Di Padmasanalah Tuhan itu disthanakan. Kata Padmasana berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dari kata Padma yang artinya teratai dan Asana artinya sikap duduk atau tempat duduk. Jadi Padmasana berarti tempat duduk yang berbentuk teratai. Oleh sebab itu pelinggih (Bangunan Pura) yang paling utama disebut Padmasana. Bangunan ini pada bagian bawahnya berbentuk kembang teratai, di atas kembang teratai inilah bangunan Padmasana didirikan. Dalam agama Hindu bunga teratai itu simbol dari tempat duduk/berdirinya Dewa-dewa. Mengapa dipilih bunga teratai? Karena bunga teratai mempunyai kelainan dengan buga-bunga pada umumnya. Di antaranya sebagai berikut:

- Bunga teratai akar dan pangkalnya tumbuh di dalam lumpur, batangnya berada di air dan bunganya berada di atas air. Dengan demikian bunga teratai hidup di tiga alam yaitu alam lumpur, air, dan udara. Di dalam, ajaran agama Hindu Hyang Widhi disebutkan bertahta di atas tiga alam ini, sebagai penguasa Tri Bhuwana yaitu alam Bhur, Bwah, dan Swah. Hidup bunga teratai di dalam tiga alam inilah yang di-identik-kan dengan Bhur, Bwah, dan Swah sehingga bunga teratai bisa dianggap simbol Tri Bhuwana.

- Bunga teratai walaupun hidup di lumpur yang busuk dan hidup di air tetap berbau harum dan tidak basah oleh air. Sebab itu maka bunga teratai dianggap sebagai lambang kesucian, bebas dan ketidakterikatan. Ida Sang Hyang Widhi walaupun Beliau menciptakan dunia dan berada di dunia, Beliau bebas dan ketidak terikatan dunia. Kesamaan ini menyebabkan bunga teratai sehagai simbol sthana Hyang Widhi.

- Bunga teratai mempunyai tangkai bunga yang lurus dan pangkal yang berada dalam lumpur sampai ke sari bunganya yang berada di atas air. Sesuatu yang lurus itu biasanya dipakai sebagai simbol yang baik.

- Meskipun bunga daun (kelopak daun) bunga teratai itu lebih dari delapan kelopak, tetapi di dalam mythologi selalu dilukiskan bahwa daun kelopak bunga teratai itu berjumlah delapan, dengan tepung sari di tengah sebagai simbol Hyang Widhi yang menguasai seluruh penjuru mata angin dikenal dengan gelar Dewata Nawa Sanggha, terdiri dari Dewa Iswara, Maheswara, Brahma, Rudra, Mahadewa, Sangkara, Wisnu, Sambu, dan Siwa.

Demikianlah beberapa hal keistimewaan bunga teratai sehingga dipakai simbol dari linggih atau sthana Hyang Widhi.

Padmasana pada hakekatnya adalah merupakan simbol dari bumi ini atau Bhuwana Agung (alam semesta) karena alam semestalah merupakan sthana Hyang Widhi di dunia ini. Untuk merealisasikannya maka diwujudkanlah dalam bentuk Padmasana. Hal ini dapat dlketahui dari perlengkapan Padmasana tersebut yaitu:

- Bedawang Nala yang dililit oleh dua ekor Naga. Bedawang Nala adalah simbol dasar dari Bhuwana Agung maupun Bhuana Alit. Konon katanya di dasar bumi ini ada Bedawang Nala yang dililit oleh ular naga sehingga Bedawang Nala itu tidak bisa bergerak. jika naga itu terbuai atau tidur maka Bedawang Nala itu akan menggerakkan tubuhnya sehingga menimbulkan gempa. Binatang apa sebenarnya Bedawang Nala itu ? Di dalam lukisan arsitektur Bali Bedawang itu selalu dilukiskan sebagai penyu atau kura-kura yang kepalanya mengeluarkan api. Kata nala yang berasal dari kata anala (sanskrit) yang artinya api. Di dalam lontar Adi Parwa, Brahmanda Purana maupun Agastya Parwa, Badawang Nala itu dilukiskan sebagai Bedawang api yang berkepala kuda yang meminum air di lautan. jika kita hubungkan dengan pengetahuan geologi maka yang dimaksud dengan Bedawang Nala rupa-rupanya adalah magma api yang ada di kerak bumi. Jika magma itu bergerak maka akan menimbulkan gempa tektonik. Jika terjadi letusan gunung berapi maka lahar yang mengalir keluar tampak seperti kepala kuda yang menyala.

- Dua Naga yang melilit Bedawang Nala yaitu Naga Anantabhoga dan Naga Basuki, Naga Anantabhoga adalah simbol dari Pertiwi yaitu lapisan bumi. Dalam lontar Sri Purwana Tattwa disebutkan buku-buku Sanghyang Anantabhoga menjadi tumbuh-tumbuhan, sehingga makmurlah manusia tidak kekurangan pangan. Karena dari bumilah manusia mendapatkan makanan dan sandang (pakaian) serta papan (bahan perlengkapan seperti mas, perak, besi, minyak dan sebagainya) yang tidak habis-habisnya. Dan Naga Basuki adalah simbol dari lapisan air yang menutupi kulit bumi ini yang berwujud gunung, sungai, dan lautan/samudra. Dalam puja Basuki stawa disebutkan : Sanghyang Naga Basuki menghidupi isi dunia ini melalui ekor beliau, karena gunung inilah seumpama dam (bendungan) yang disimbolkan sebagai ekor Sanghyang Naga Basuki, tubuhnya adalah sungai dan kepalanya adalah lautan.

- Burung Garuda yang dilukiskan di belakang Padmasana, Simbol apakah Garuda itu ? Gambar garuda ini ada hubungannya dengan cerita Sang Garuda yang terdapat di dalam Adi Parwa. Inti ceritanya adalah Sang Garuda yang mampu membebaskan dirinya dari ibunya Sang Winata dari perbudakan Sang Kadru dan anaknya. Dengan tebusan berupa tirta amerta yang diperolehnya dari Dewa Wisnu setelah Sang Garuda bersedia menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Jadi Garuda itu tidak lain adalah simbol manusia yang mencari pembebasan dari perbudakan benda-benda duniawi. Apakah manusia bisa membebaskan diri dari perbudakan benda-benda material/duniawi ? Jawabannya adalah Tirta Amerta. Apa yang dimaksud dengan Amerta itu ? Amerta artinya tidak mati-mati atau keabadian, Siapa yang tidak bisa mati hanya Tuhan! Barang siapa yang telah bisa mencapai Tuhan mereka tidak lagi terikat oleh kemelekatan benda-benda duniawi ini, mereka bebas dari perbudakan benda, mereka mencapai moksa (kebebasan).

- Angsa juga dilukiskan dibelakang Padmasana tepatnya di atas burung Garuda. Wujud Angsa itu selalu diwujudkan dengan sayapnya yang mengepak-ngepak. Menurut lontar “Indik Tetandingan” wujud angsa dengan sayap mengepak itu adalah simbol dari ardha candra, windu, dan nada. Kedua sayap yang mengepak menggambarkan ardha candra, windu, dan nada. Kedua sayap yang mengepak menggambarkan ardha candra, kepala angsa menggambarkan windu, dan mulut atau cocor angsa menggambarkan nada. Sumber yang lain dijumpai di dalam Upanisad yang menyebutkan: “Atma yang ingin bersatu dengan Brahman itu seperti burung angsa yang mengepak-ngepakkan sayapnya”. Maka kesimpulannya lukisan Angsa pada Padmasana adalah simbol manusia yang ingin kembali kepada Sang Hyang Widhi, yang juga disebutkan amoring acintiya.

- Naga Taksaka yang digambarkan pada Singhasana yang berbentuk menyerupai kursi. Naga Taksaka itu dipakai untuk menghiasi kedua tangan dan kedua kursi itu. Demi untuk kepentingan keindahan (seni rupanya) Naga Taksaka (yang bersayap) itu dilukiskan dua ekor. Naga Taksaka adalah merupakan simbol dari lapisan terakhir dari bumi yang juga membungkus kulit bumi tetapi selalu bergerak yaitu udara yang mengambil tempat di angkasa atau melambangkan / atmosfier bumi.

- Acintya yang dilukiskan di Singhasana Padmasana. Acintya mempunyai arti tak terpikirkan. Dengan demikian Acintya adalah simbol bahwa Tuhan itu tak terpikirkan. Dalam kitab-kitab Upanisad menyatakan bahwa Tuhan itu sangat sulit diberikan batasan, sebab batasan cendrung mempersempit dari pengertian Tuhan Yang Maha Agung itu. “Neti-neti”, bukan itu, bukan ini? Demikian kitab-kitab Upanisad menyatakan.• WHD. No. 434 April 2003

http://www.parisada.org