Sabtu, 28 November 2009

Etika-Ahimsā Dalam Hindu Dan Islam

Oleh: Yudhis Muh. Burhanuddin*)


ETIKA sudah dikenal sejak zaman Sokrates[1]. Etika adalah sebentuk gagasan yang merumuskan tentang kelaziman tertentu yang seharusnya dilakoni oleh manusia dalam hidupnya. Dengan kata lain, etika, sebagai cabang filsafat, membicarakan soal-soal praktis hidup. Menurut Richard Lindsay, ada dua bentuk pertanyaan etika: 1). bagaimana seharusnya manusia berperilaku?; 2). apakah ada kebenaran obyektif moralitas?[2]

Dua pertanyaan di atas menyangkut dua bentuk etika, yaitu etika normatif dan meta-etika. Ada banyak macam etika yang kini semakin spesifik di bagai disiplin ilmu, misalnya etika kedokteran, etika bisnis, dsb. Agama pun demikian. Agama, yang memiliki sistem etika sendiri, menjawab sekaligus dua pertanyaan Lindsay di atas. Etika agama juga bersifat praktis. Kebenaran obyektif etika agama terletak pada reward and punishment-nya. Salah satu etika praktis agama adalah Ahimsā atau Nir-Kekerasan (non-violence). Pembahasan di bawah ini adalah perbandingan etika Ahimsā dari perspektif Hindu (sebagai ajaran partikular Hindu) dan Islam.

Perspektif Hindu

ETIKA-AHIMSĀ menurut Hindu adalah doktrin Tidak-Melukai (non-injury) makhluk hidup. Doktrin ini sudah sangat lawas dan tersebar, secara eksplisit maupun implisit, di dalam teks-teks suci Hindu (baik Sruti maupun Smrti)[3]. Misalnya sloka suci smrti di bawah ini.

Bila orang itu sayang akan hidupnya, apa sebabnya ia itu ingin memusnahkan hidup makhluk lain; hal itu sekali-kali tidak memakai ukuran diri sendiri, segala sesuatu yang akan dapat menyenangkan kepada dirinya, mestinya itulah seharusnya dicita-citakannya

terhadap makhluk lain. (Sarasamusccaya, sloka: 136)[4]

Akan tetapi orang yang keadaannya begini, menitis lahir menjadi manusia pada orang yang bernoda, berpenyakitan, berkelakuan jahat, bertabiat menyakiti (membunuh), pendek umurlah diperoleh oleg orang yang berkeadaan demikian, hal ini adalah akibat perbuatannya bengis dulu pada waktu penjelmaannya sebelum ini (yang lampau).

(Sarasamusccaya, sloka: 148)[5]

T.W. Rhys Davids berpendapat bahwa ahimsā secara mistis terdapat di dalam kitab sruti Chāndogya Upanisad (3,7)[6]. Sedangkan menurut John McKenzie, ahimsā lebih unik di tangan Gautama dan Mahāvīra[7] dan menjadi National Character, misalnya di tangan Mahatma Gandhi[8]. Memang ahimsā dalam pandangan Gandhi, seperti kata Francis Alapatt, “lebih dari sekadar ungkapan…, yang lebih menekankan aspek ‘tidak’ atau penegasian, dan tidak jarang pula ahimsā dimaknai secara negatif[9].” Memang secara praktis, etika-ahimsā dilaksanakan dengan cara tidak-memakan-daging—“vegetarianisme”. Karena menurut Maharshi Manu, “there is no greater sinner than that man who, though not worshipping the gods or manes, seeks to increase the bulk of his own flesh by the flesh of other beings.” Akan tetapi, menurut beliau lagi, ada pengecualian selama, “He who eats meat, when he honours the gods and manes, commits no sin, whether he has bought it, or himself has killed the animal, or has received it as a present from others[10].”

Terlepas dari bagian praktis vegetarianisme di atas, ahimsā adalah salah satu dari lima unsur pengendalian diri (Panca Yama Brata)[11]. Menurut hemat penulis, etika-ahimsā lebih dari sekadar vegetarianisme. Etika-Ahimsā seyogyanya dimulai dari pikiran (manacika), kemudian ke wicara (wacika), dan akhirnya laku (kayika) atau Tri Kaya Parisuda[12]. Menurut Svami Vivekananda manusia terdiri atas manas (pikiran), buddhi (laku), dan atman (ruh)[13]. Di samping itu, di dalam diri manusia juga ada sifat Rajas dan Tamas yang juga mesti diseimbangkan agar tercapai Satvass atau Satwika. Karena ahimsā adalah pertimbangan etis non-kekerasan dan damai, maka pertama-tama ia dimulai dari ketiga unsur pembentuk kedirian manusia ini. Bagaimanapun juga, makna ahimsā akan kabur jika misalnya, perut sudah tidak terisi daging tetapi perkataan, tingkah laku dan pikiran kita masih terpengaruh oleh sifat-sifat ke-daging-an (hewani). Bahwa ahimsā seharusnya terimplementasi ke dalam Tri Kaya Parisuda dan atau Sukma, afirmasi ini bisa kita lihat di dalam sloka-sloka suci Hindu. Misalnya a.l: dalam Yajur Weda, XXI.61, Tuhan berkata, “Tuhan menciptakan manusia untuk berbicara lemah-lembut dan santun”[14]. Sloka sebelumnya (Yajur Weda, XIX.29), Tuhan berjanji, “Orang-orang yang ramah dan lemah-lembut dalam ucapannya akan memperoleh karunia-Nya”[15]. Dalam Rig Weda, X.19.4, Dia berseru kepada kita semua, “Wahai umat manusia, satukanlah pikiranmu untuk mencapai satu tujuan dan satukanlah hatimu, satukan pikiranmu dengan sesama dan semuanya tinggal dalam pergaulan yang harmonis”[16]. Dan dalam kitab Bhagawadgita, XVI.20, Tuhan mengingatkan kita, “Mereka yang kejam dan pembenci, adalah manusia paling hina di dunia ini, yang Aku campakkan berkali-kali ke dalam kandungan raksasa”[17]. Sloka lain misalnya:

Ā cireņa parasya bhūyasīm, wiraparītām wigaņayya cātmanah, kşayayuktimupekşate ŗtī,kurute tatpratikāramanyathā[18].”

(Orang budiman yang telah mendalami pengetahuannya tentang dharma akan tidak menghiraukan segala usaha-usaha jahat dan tipu muslihat musuhnya untuk menjatuhkan dirinya. Jika tidak berbudi, ia pasti akan membalas dendam)

Sloka smrti di atas mengafirmasi kualitas dharma dan efeknya kepada Tri Kaya Parisuda. Sebetulnya ada ribuan sloka suci Hindu yang mengafirmasikan nilai-nilai ahimsā dan atau kedamaian. Cukuplah kiranya jika sloka yang dikutip di atas sebagai representasi konteks tulisan ini. Empat sloka suci di atas menegaskan bahwa hakikat ber-ahimsā adalah mengelola Tri Kaya Parisuda atau Sukma agar manusia senantiasa lebih manusiawi[19] agar mencapai “moksartham jagaddhitaya ca iti dharma”—dengan dharma menggapai kesejahteraan di dunia dan di akhirat[20]. Terakhir, pintu masuk pengelolaan ketiga unsur penting manusia ini adalah pengendalian Sad Ripu—enam “musuh” dalam diri manusa[21].

Perspektif Islam

MENCARI kata ahimsā dalam Islam tentu tidak ditemukan. Akan tetapi, mencari makna ahimsā tentu ada. Islam secara etimologis berarti “kedamaian” atau “damai di luar dan di dalam”[22]. Nabi Muhammad SAW (Shallalahu ‘Alaihi Wa Sallam) datang untuk kedamaian. Di dalam Al-Qur’an Tuhan (dalam Islam disebut Allah) menegaskannya, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau Muhammad kecuali untuk kedamaian bagi semesta[23].” Begitu juga, Nabi Muhammad sendiri menyerukan umatnya, “Hendaklah kalian berakhlaq mulia, karena sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk itu[24].” Islam adalah salah satu “jalan” menuju kampung keselamatan dan kedamaian, di samping jalan-jalan (baca: agama) yang lain.

Etika-Ahimsā yang pernah ditunjukkan Nabi Muhammad SAW adalah pada peristiwa “Fathul Makkah” (the opened Mecca) yang banyak ditemukan di dalam literatur-literatur Islam. Saat Fathul Makkah, dengan tegas Nabi Muhammad SAW berkata kepada semua masyarakat Makkah bahwa, “Yang masuk ke dalam Ka’bah, selamat, dan yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan pun, selamat.” Kata ‘Ka’bah’ dan ‘rumah Abu Sufyan’ dalam konteks ini adalah simbol ahimsā. Karena walaupun Muhammad dan pengikutnya waktu itu berpotensi untuk membalas dendam atas perlakuan kasar, intimidasi, bahkan pembunuhan orang-orang Makkah selama bertahun-tahun atas diri beliau, keluarga dan pengikutnya, akan tetapi, beliau sama sekali tidak melakukannya. Sebaliknya, dia memilih damai, etika ahimsā. Dalam bahasa modernnya, “we forgive because we cannot forget[25].” Kisah-kisah sejarah seperti ini, baik tentang diri beliau maupun sahabat-sahabatnya, tersebar di dalam literatur-literatur Islam, entah itu ditulis oleh sejarawan Islam sendiri, sejarawan Kristen, seperti William E. Phipps dan Philip K. Hitti, maupun yang ditulis oleh orientalist, seperti W. Montgomery Watt.

Murthadha Muthahari dan Said Hawwa dalam buku mereka memberi contoh Etika-Ahimsā Islam. Memaafkan, membalas budi, dan menyayangi binatang, termasuk anjing, demikian menurut Muthahhari, adalah perbuatan ksatri yang nilainya lebih tinggi dari perbuatan (baik) biasa[26]. Nabi Muhammad, seperti yang dikutip Muthahhari, menyampaikan kepada sepupunya ‘Ali Bin Abi Thalib, tiga hal yang nilainya sangat tinggi. Yang pertama ialah memberi kepada siapa saja yang meminta; kedua, menyambung tali persaudaraan; dan yang ketiga, memaafkan orang yang mendzalimi (berbuat jahat kepada) kita[27]. Tuhan di dalam Al-Qur’an menegaskan bahwa, membunuh satu orang saja, nilainya sama dengan membunuh semua manusia yang ada di muka bumi ini. Begitu juga dengan, menyelamatkan satu orang saja, nilainya sama dengan menyelamatkan semua manusia[28]. Dengan terang dan jelas, ayat ini menegaskan Etika Ahimsā dengan perumpamaan, betapa membunuh tanpa sebab yang jelas adalah perbuatan yang terkutuk dan betapa sebaliknya adalah perbuatan yang sangat mulia. Ayat ini sama dengan konteks Bhagawadgita, XVI.20 yang sudah dikutip di atas.

Etika-Ahimsā dalam Islam bersifat implisit[29]. Seperti sekelumit contoh di atas, pesan itu tersebar di dalam Qur’an, teks-teks hadits, dan teladan Nabi Muhammad. Setiap Muslim diharapkan bersikap santun sebagaimana teladan Nabi. Di samping itu, setiap Muslim hendaknya merefleksikan sifat-sifat Tuhan: Pengasih, Penyayang Dan Pemaaf. “Forgiveness,” demikian tulis Chawkat Moucarry, “is a divine promise that reflects who God is.[30]” Lebih lanjut kata Chawkat, “Islamic teachings urges Muslim to seek God’s forgiveness and to forgive those who have wronged them[31].” Apa yang ditulis oleh Chawkat Moucarry ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, adalah teldadan Nabi Muhammad SAW seperti yang beliau katakan kepada ‘Ali Bin Abi Thalib—Khalifah IV. Jalan menuju ahimsā menurut Islam adalah pertama-tama dengan mengendalikan hawa nafsu. Nabi Muhammad menegaskan bahwa ‘Jihad’[32] terbesar adalah menaklukkan al-nafs. Marcel A. Boisard mengulang kembali perkataan Muhammad ini[33]. Al-Nafs[34] atau hawa nafsu (Sad Ripu dalam konteks Hindu) adalah musuh di dalam diri manusia. Pengendalian Nafs, sebagai awal Etika-Ahimsā, pertama-tama dengan berpuasa—puasa adalah medium tapa brata.

Etika Ahimsā Sekuler (catatan tambahan)

ADA tiga mazhab besar Filsafat Etika Barat. Yang pertama Hedonism—yang menganggap “kenikmatan” sebagai ukuran etis; yang kedua adalah Hukum Moral—Prinsip Universalitas dan Kemanusiaan sebagai tujuan dan bukan sekadar sarana, tokohnya adalah Immanuel Kant (1724 – 1804); dan yang ketiga adalah Realisasi Diri—virtue sebagai tujuan, tokohnya Plato dan Aristoteles[35]. Istilah Humanisme di kemudian hari banyak dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant yang menganggap bahwa ukuran etis adalah prinsip-prinsip kemanusiaan.

Etika Ahimsā dalam teori modern adalah Deklarasi Hak Asasi Manusia (10 Desember 1948) sebagai reaksi keras atas kebiadaban Perang Dunia I dan II[36], dan juga bagian dari humanisme. Dengan kata lain, ahimsā dalam dunia modern adalah humanisme yang menentang kekerasan. Perbedaannya dengan Etika Ahimsā menurut agama-agama, adalah ahimsā-non-agama kebenaran obyektifnya bersifat relatif, bisa diperdebatkan, sementara ahimsā-agama (Hindu-Islam dalam tulisan ini) kebenaran obyektifnya berada pada doktrin reward and punisment-nya—Jagadhita (kebahagiaan dunia) dan Moksa (kebahagiaan akhirat).

Kesimpulan

AHIMSĀ dikenal baik di Hindu maupun di Islam dengan terminologi yang berbeda. Pertama, kata Shanti (Hindu) dan Salam (Islam) adalah tanda bahwa agama-agama ini (dan yang lainnya) menuntun umatnya untuk berpikir, bertutur, dan berlaku damai, menghindari kekerasan. Kedua, Etika-Ahimsā seyogyanya dimulai dari pengendalian hawa nafsu (al-nafs atau Sad Ripu). Mustahil Tri Kaya Parisuda (Sukma) manusia bisa ber-ahimsā bilamana Sad Ripu yang destruktif masih mendominasinya. Dengan kata lain, pengelolaan Sad Ripu—enam “musuh” dalam diri manusa—[37] adalah awal Etika-Ahimsā. Bagaimanapun juga, segala tindakan destruktif manusia, baik yang beragama maupun yang tidak-beragama, baik yang menggunakan agama sebagai tameng kepentingan atau yang tidak, selalu berawal dari tidak terkelolanya dengan baik al-Nafs (Sad Ripu) yang ada di dalam diri manusia. Pada akhirnya, manusia yang tidak mampu mengendalikan nafs-nya (hawa nafsu) derajatnya lebih rendah dari hewan, demikian kata Tuhan di dalam Al-Qur’an[38]. (*)

Denpasar, 2007

*) adalah esais yang kini sedang menempuh program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar Bali

Catatan Kaki:




[1] Lihat, Prof. dr. K. Bertens da;am Sejarah Filsafat Yunani, 1999, Kanisius, hal. 107.

[2] Dikutip dari Dr. A.N. Baqirshahi, “Dasar-Dasar Nilai Moral: Studi Komparatif atas Pandangan Allamah Thabathaba’i dan Ayatullah Muthahhari” dalam Jurnal Al-Huda, Volume I Nomor 2, 2002, hal. 97.

[3] Lihat Francis Alapatt, 2005, dalam Mahatma Gandhi, Prinsip Hidup, Pemikiran Politik dan Konsep Eknomi, penerbit Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hal. 61.

[4] Sarasamusccaya, 2000, Pemerintah Propinsi Bali, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh I Njoman Kadjeng, dkk., hal. 73.

[5] Sarasamusccaya, 2000, Pemerintah Propinsi Bali, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh I Njoman Kadjeng, dkk., hal. 48.

[6] Lihat: S.M. Srinivasa Chari dalam The Philosophy of the Upanisads, A Study Based on the Evaluation of the Comments of Śamkara, Rāmānuja, and Madhva, 2002, penerbit Munshiram Manoharlal Publishers Pvt. Ltd, hal 55. Chāndogya Upanisad adalah salah satu dari empat belas kitab Upanisad lainnya. Ia membahas doktrin Vedānta. Chāndogya Upanisad adalah pembahasan dari Samaweda; ia terdiri atas delapan bagian yang disebut adhyāya yang masing-masingnya dibagi ke dalam beberapa bagian yang disebut Khaņda.

[7] Lihat John McKenzie, MA dalam Hindu Ethics, A Historical And Critical Essay, penerbit Oriental Books Reprint Corporation, New Delhi, hal 60.

[8] Lihat, T.W. Rhys Davids, dalam The Hindus, Encyclopedia of Hinduism, 2000, Cosmo Publications, New Delhi, Vol. 1 A-C, hal 38 – 39.

[9] Opcit, hal. 61.

[10] ibid, hal. 61. Terjemahan bebas oleh penulis, statemen pertama: “Tak ada dosa besar yang lebih parah dari orang yang, selain tidak menyembah Tuhan, juga selalu mencari untuk mengenyangkan lambungnya dengan daging makhluk lain.” Statemen kedua, “Siapa saja yang memakan daging, entah daging itu dibelinya sendiri, atau dia sendiri yang menyembelihnya, atau bahkan menerimanya sebagai hadiah, tidak berdosa selama daging itu dipersembahkan kepada Tuhan.”

[11] Lihat I Gusti Ngurah Gorda, Dr. MS, MM, dalam Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma, 2004, Penerbit Pusat Kajian Hindu, Budaya Dan Perilaku Organisasi Sekolah Tinggi Ilu Ekonomi Satya Dharma, Singaraja, hal. 45.

[12] ibid, hal. 8.

[13] Lihat I Gusti Ngurah Gorda dalam Membangun Dharmawacana Yang Sejuk Dan Damai, Penerbit Astabrata Bali, 2005, hal. 14 – 26.

[14] Sebagaimana yang dikutip oleh Dr. I Gusti Ngurah Gorda, MS, MM, dalam Membangun Dharmawacana Yang Sejuk Dan Damai, Penerbit Astabrata Bali, 2005, hal. 59.

[15] Dikutip dari ibid, hal. 57

[16] Dikutip dari ibid, hal. 45.

[17] Dikutip dari ibid, hal. 34.

[18] Lihat: Prof. Dr. Tjok. Sudharta, M.A, dalam Slokāntara, Untaian Ajaran Etika, Teks, Terjemahan dan Ulasan, 2004, penerbit Paramita, Surabaya, hal. Hal 27.

[19] Menurut Prof. Dr. I Gusti Ngurah Gorda, MS, MM, ada tiga makna doktrin Karmaphala Sraddha, yang pertama makna literernya, kedua makna simboliknya, dan yang ketiga makna futuristisnya. Saya mengaitkan konteks pembahasan ini dengan makna yag ketiga, yakni yang visioner. Lihat: opcit, hal. 11 -12.

[20] Dikutip dari Dr. I Gst, Ngurah Nala dan Drs. I.G.K. Adia Wiratmadja, 1989, dalam Murddha Agama Hindu, Upada Sastra, Denpasar, hal. 23.

[21] Opcit hal. 40 – 44.

[22] Islam berasal dari kata ‘Aslama’ yang berarti selamat dan damai. Kata ini juga berderivasi dan kemudian menjadi kata ‘Salaam’ yang biasanya diucapkan kepada seseorang, misalnya “Assalamu ‘alaikum…” yang berarti “Keselamatan atau damai atasmu”. Allah (Tuhan atau Hyang Widhi) bahkan menggunakan kata ini, misalnya di dalam surah Yaasiin ayat 58, “Kepada mereka dikatakan): “Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” Lihat: Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama RI, 1993. Lihat juga Prof. Dr. Marcel A. Boisard dalam Humanisme Dalam Islam, 1980, penerbit Bulan Bintang, Jakarta, hal. 41.

[23] Lihat QS (21:107).

[24] Lihat Murthada Muthahhari dalam Filsafat Moral Islam, (terjemahan) 2004, penerbit Al-Huda, Jakarta. Ini adalah hadits yang sudah dikenal secara umum oleh umat Islam, baik Islam-Sunni maupun Islam-Syiah. Dalam redaksi yang berbeda, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”, hal. 27.

[25] “Kita memaafkan karena kita tidak bias melupakan”.

[26] Lihat ibid hal. 23.

[27] Ibid, hal 23

[28] QS. Al-Maidah: 32.

[29] Misalnya pembahasan Prof Abdul Rahman Bin Hammad Al Umar dalam Islam The Religion Of Truth, tanpa tahun, versi Bahasa Inggris oleh Ahmad Hassouma di bawah pengawasan Supreme Head Office for Religious Researchs, Ifat, Call and Guidance Departments, hal. 43 pembahasan tentang persuadaraan antara Muslim dan Non Muslim. Begitu juga dengan Said Hawwa dalam bukunya Al-Islam (terjemahan), 2004, penerbit Gema Insani Jakarta, hal 283 pembahasan tentang tidak dibolehkannya seseorang membunuh sebagaimana peringatan Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah ayat 32 dan Surah Al-Isra ayat 70.

[30] Lihat Chawkat Moucarry dalam The Search For Forgiveness, Pardon and Punishment in Islam and Christianity, 2004, Inter-Varsity Press, hal.19. Terjemahan bebas dari penulis: “Pemaaf adalah janji Tuhan yang merefleksikan dir-Nya.”

[31] Ibid, hal 20. terjemahan bebas dari penulis: “Ajaran Islam mendorong setiap Muslim untuk mencari keridhaan (pemaafan) Tuhan dan hendaknya mereka memaafkan orang-orang yang mendzalimi mereka.”

[32] Kata Jihad berarti usaha yang serius. Ironisnya beberapa orang menganggap Jihad sebagai perang suci. Islam tidak mengenal istilah “Perang Suci”. Perang Suci adalah istilah dalam literature sejarah yang merujuk kepada Pasukan Perang Salib yang waktu itu memang Perang Salib dianggap sebagai Perang Suci oleh keolmpok tertentu. Lihat juga Prof. Dr. Marcel A. Boisard dalam Humanisme Dalam Islam, 1980, Bulan Bintang Jakarta, hal. 256, 257 – 265.

[33] Ibid, hal. 259. Dalam sejarah Isalm disebtukan bahwa waktu nabi Muhammad berseru, “Kita telah kembali dari perang kecil (Badar) untuk memulai perang besar (melawan hawa nafsu)”. Untuk itu dimulailah puasa sebagai tapa-brata untuk melawan hawa nafsu.

[34] Al-Nafs juga berarti jiwa seperti yang tertulis di dalam Al-Qur’an, Surah Al-Fajar ayat 27 – 30, “Wahai Jiwa- Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai, Maka masuklah ke dalam kumpulan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” Menurut hemat penulis ayat ini secara implisit berarti juga Moksa sebagaimana kata Tuhan, “Kembalilah kepada Tuhanmu…” Lihat juga misalnya QS. An-Nazi’at: 39 – 41. Atau Murthada Muthahhari dalam Filsafat Moral Islam, (terjemahan) 2004, penerbit Al-Huda, Jakarta, Bab III, hal. 123, pembahasan tentang Diri (Nafs) Manusia.

[35] Lihat Persoalan-Persoalan Filsafat, 1984, penulis: Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan (alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi), penerbit Bulan Bintang Jakarta, hal. 147 – 154.

[36] Lihat Buku Panduan Tentang Hak Asasi Manusia Untuk Anggota POLRI 2006, hal. 5.

[37] Opcit hal. 40 – 44.

[38] Q.S. al-Furqaan: 44, “Mereka itu, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” Lihat juga Said Hawwa dalam Al-Islam, (terjemahan), 2004, penerbit Gema Insani Press Jakarta hal. 278. Di situ Said Hawwa menyebutnya sisi “kemanusiaan” yang dipertentangkan dengan sisi “kebinatangan”. Manusia akan menjadi “binatang” jika sisi “kemanusiaan-nya” lenyap—dengan kata lain, nafs atau Sad Ripu yang tidak terkendali akan mengubah manusia menjadi hewan.


sumber :

http://fokusfilsafat.wordpress.com